Selasa, 27 September 2011

ANALISIS KESTABILAN LERENG TANAH

 ANALISIS KESTABILAN
LERENG TANAH
Zufialdi Zakaria, Ir., MT.


Staff Laboratorium Geologi Teknik, FMIPA-UNPAD

1. Pendahuluan
1.1. Tujuan Instruksional Khusus :
· Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa mampu : 1) menyebutkan
berbagai jenis gerakan tanah, 2) menjelaskan faktor-faktor penyebab
maupun pemicu gerakan tanah (longsoran), 3) mengetahui
kemungkinan akibat-akibat (dampak) yang ditimbulkan oleh gerakan
tanah.
· Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menghitung faktor
keamanan lereng (SF, Safety Factor) dan dapat menyampaikan
alternatif pencegahan dan pengendaliannya.

1.2. Sumber :
· Definisi gerakan tanah dan/atau longsoran dan jenis-jenis longsoran
· Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan lereng (internal dan
eksternal)
· Perhitungan nilai keamanan lereng dengan analisis sifat
fisik/mekanik tanah atau mekanika tanah.
· Berbagai alternatif pencegahan dan pengendalian secara umum.

1.3. Bahan :
· Bowles, JE.,1989, Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga,
Jakarta, 562 hal.
· Dikau, R. (editor) et.al., 1997, Landslide Recognition, John Willey &
Sons, 251 p.
· Hunt, R.E., 1984, Geotechnical engineering investigation manual,
McGrawHill Book Company, 984 p.
· Strahler, A.N., & Strahler, A.H., 1983, Modern physical geography,
John Willey & Sons, 532 p.
· Verruijt, 1982, Stabil2.3, Computer Program, Delft University.
· Zaruba, Q., & Mencl., V., 1969, Landslide and their control,, Elsevier
Pub. Co., Amstredam, 205 p.
· Buku dan Jurnal lainnya (lihat Daftar Pustaka).
1.4. Latihan :
· Hubungan antara gerakan tanah dan geomorfologi, interpretasi
daerah gerakan tanah (longsoran besar) melalui analisis peta
geomorfologi.
· Perhitungan Faktor Keamanan Lereng dan penanggulangan /
pencegahan longsor.
· Analisis kestabilan lereng..

2. Definisi dan Klasifikasi Gerakan Tanah
Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass
movement) mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu
penjelasan keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada
arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah
mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini
longsoran adalah bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular,
1985). Jika menurut definisi ini perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak
adalah termasuk gerakan tanah, maka gerakan vertikal yang mengakibatkan
bulging (lendutan) akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis
gerakan tanah. Dengan demikian pengertiannya menjadi sangat luas.
Kelompok utama gerakan tanah (mass movement) menurut
Hutchinsons (1968, dalam Hansen, 1984) terdiri atas rayapan (creep) dan
longsoran (landslide) yang dibagi lagi menjadi sub-kelompok gelinciran (slide),
aliran (flows), jatuhan (fall) dan luncuran (slip). Definisi longsoran (landslide)
menurut Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran
(sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya
(lihat Tabel 1, halaman 3).
Secara sederhana, Coates (1977, dalam Hansen, 1984, lihat Tabel 2)
membagi longsoran menjadi luncuran atau gelinciran (slide), aliran (flow) dan
jatuhan (fall). Menurut Varnes (1978, dalam Hansen, 1984) longsoran
(landslide) dapat diklasifikasikannya menjadi: jatuhan (fall), jungkiran (topple),
luncuran (slide) dan nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral
spread), dan gerakan majemuk (complex movement). Untuk lebih jelasnya
klasifikasi tersebut disampaikan pada Tabel 2 (halaman 4).

Tabel 1. Klasifikasi longsoran oleh Stewart Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984)
Tabel klasifikasi longsoran menurut Stewart Sharpe

Klasifikasi para peneliti di atas pada umumnya berdasarkan kepada
jenis gerakan dan materialnya. Klasifikasi yang diberikan oleh HWRBLC,
Highway Research Board Landslide Committee (1978), mengacu kepada Varnes
(1978) seperti diberikan pada Tabel 3 (halaman selanjutnya) yang berdasarkan
kepada:
a) material yang nampak,
b) kecepatan perpindahan material yang bergerak,
c) susunan massa yang berpindah,
d) jenis material dan gerakannya.

Tabel 2. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Coates (dalam Hansen, 1984)
Tabel klasifikasi  longsoran menurut Varnes

Berdasarkan definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes, 1978; Tabel 3),
maka disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan
perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau perpindahan massa
tanah maupun batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan
semula.
Longsoran (landslide) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya
terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan (slump),
aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral spread), rayapan
(creep) dan longsoran majemuk

Tabel 3. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978, dalam M.J.
Hansen, 1984) yang digunakan oleh Higway Reseach Board
Landslide Comitte (1978, dalam Sudarsono & Pangular, 1986)
Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978, dalam M.J.
Hansen, 1984) yang digunakan oleh Higway Reseach Board
Landslide Comitte (1978, dalam Sudarsono & Pangular, 1986)

Untuk membedakan longsoran, landslide, yang mengandung pengertian
luas, maka istilah slides digunakan kepada longsoran gelinciran yang terdiri atas
luncuran atau slide (longsoran gelinciran translasional) dan nendatan atau slump
(longsoran gelinciran rotasional). Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam
beberapa klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

· Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara,
termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu
dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain.
Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan (urug, lawina, avalanche) batu,
bahan rombakan maupun tanah.
· Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan
oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati
ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran
(slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan materialnya yang
banyak berubah.. Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak
banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka disebut
nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah
tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.
· Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau
kadar airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara
material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis
gerakan aliran kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu, aliran
loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran
tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.
· Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau tiga
jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam,
tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih
dominan. Menurut Pastuto & Soldati (1997), longsoran majemuk diantaranya
adalah bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
· Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan
gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969;
Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka
kecepatan gerakan tanah perlu diketahui (Tabel 4). Rayapan (creep)
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim,
rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan
rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau
perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984) .

Tabel 4. Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984)
Laju kecepatan gerakan tanah

· Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis
longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan
secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan,
nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori
complex landslide - longsoran majemuk (Pastuto & Soldati, 1997). Prosesnya
berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall,
1978, dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun
bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau
aliran yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material
yang terlibat antara lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang
mengalami luncuran akibat gempa (Buma & Van Asch, 1997).
· Pada longsoran tipe translasional maupun rotasional, ada batas antara
massa yang bergerak dan yang diam (disebut bidang gelincir), kedalaman
batas tersebut dari permukaan tanah sangat penting bagi deskripsi
longsoran. Terdapat 4 (empat) kelas kedalaman bidang gelincir (Fernandez
& Marzuki,1987), yaitu:
a) Sangat dangkal (<1,5 meter);
b) Dangkal (1,5 s.d. 5 meter);
c) Dalam (antara 5 sampai 20 meter);
d) Sangat dalam (>20 meter).
Umur gerakan dan derajat aktivitas longsoran merupakan kondisi yang
cukup penting diketahui. Longsoran aktif selalu bergerak sepanjang waktu atau
sepanjang musim, sedangkan longsoran lama dapat kembali aktif sepanjang
adanya faktor-faktor pemicu longsoran. Zaruba & Mencl (1969) mempelajari
longsoran-longsoran yang berumur Plistosen dan menggunakan istilah fosil
longsoran untuk longsoran yang sudah tidak aktif lagi.
Berdasarkan bentuk suatu longsoran, maka tatanama tubuh longsoran
dapat diberikan dengan melihatnya dari bagian atas lereng atau di mahkota.
Tatanama tersebut secara sederhana dapat diuraikan (Gambar 1) berdasarkan
HWRBLC, (1978; dalam Pangular, 1985) yang mengacu pada Varnes (1978):

a. Gawir besar: Lereng terjal pada bagian yang mantap di sekeliling bagian yang
longsor, biasanya terlihat dengan jelas.
b. Gawir kecil : Lereng terjal pada bagian yang bergerak karena ada perbedaan
gerakan dalam massa gerakan tanah.
c. Kepala : Bagian sepanjang batas atas antara material yang bergerak dengan
gawir besar.
d. Puncak : Titik tinggi pada bidang kontak antara material yang bergerak dengan
gawir besar.
e. Kaki : Garis perpotongan antara bagian terbawah bidang longsor dengan
muka tanah asli.
f. Ujung Kaki : Batas terjauh material yang bergerak dari gawir besar.
g. Tip : Titik pada ujung kaki yang berjarak paling jauh dari pucak.
h. Sayap : Bagian samping dari suatu tubuh gerakan tanah. Pemerian nama sayap
kiri dan kanan dilihat dari mahkota.
i. Mahkota : Material yang terletak di bagian tertinggi gawir utama.
j. Muka tanah : Muka tanah asli, yaitu lereng yang tak terganggu oleh gerakan tanah

Gambar 1. Tubuh longsoran (HWRBLC, Highway Research Board
Landslide Comittee 1978; dalam Pangular, 1985)

Gerakantanah berupa longsor (landslide) merupakan bencana yang
sering membahayakan. Longsor seringkali terjadi akibat adanya pergerakan
tanah pada kondisi daerah lereng yang curam, serta tingkat kelembaban
(moisture) tinggi, tumbuhan jarang (lahan terbuka) dan material kurang kompak.
Faktor lain untuk timbulnya longsor adalah rembesan dan aktifitas geologi seperti
patahan, rekahan dan liniasi . Kondisi lingkungan setempat merupakan suatu
komponen yang saling terkait. Bentuk dan kemiringan lereng, kekuatan material,
kedudukan muka air tanah dan kondisi drainase setempat sangat berkaitan pula
dengan kondisi kestabilan lereng (Verhoef, 1985).
Lereng dapat dianalisis melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng
dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis tanah) dan
bentuk geometri lereng (Pangular, 1985). Secara khusus, analisis dapat
dipertajam dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan
memperhatikan kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim,
vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat. Kondisi lingkungan
tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dan
merupakan karakter perbukitan rawan longsor (Anwar & Kesumadharma, 1991;
Hirnawan, 1993, 1994).
Pendekatan masalah tanah longsor dapat melibatkan kajian dampak
akibat faktor-faktor di atas, penanganannya dapat didekati dengan pengelolaan
lingkungan. Arahan pengelolaan lingkungan dilakukan sebagai antisipasi untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak lingkungan negatif (Fandeli,
1992), yaitu dengan cara memperkecil dampak negatif dan memperbesar
dampak positif (Soemarwoto, 1990), atau dengan kata lain meminimalkan faktorfaktor
kendala kestabilan lereng dan memaksimalkan faktor-faktor pendukung
lereng stabil. Dampak lingkungan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung (Snyder & Catanese, 1989). Analisis dampak dapat dilakukan
dengan melihat kondisi fisik sekitar komponen terkena dampak.

Gambar 2. Beberapa tipe / jenis longsoran



Gambar 3. Beberapa tipe / jenis longsoran (2)


3. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng
Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor internal
(dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), antara lain:
kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun
situasi setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat
kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti
patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991).
Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden (1993,
dalam Dikau et.al., 1996) diantaranya adalah :
· Pelapukan (fisika, kimia dan biologi),
· erosi,
· penurunan tanah (ground subsidence),
· deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah),
· getaran dan aktivitas seismik,
· jatuhan tepra
· perubahan rejim air.
Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh
kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air (water content; %)
dan kejenuhan air (saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor, hujan
sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan
kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air
akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan
lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zakaria, 1991).

Penambahan beban di tubuh lereng bagian atas (pembuatan/peletakan
bangunan, misalnya dengan membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau di
puncak bukit) merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian
juga pemotongan lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa perencanaan dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng.
Letak atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi
Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup
menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang
semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular,
1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan penting.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan
internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikutsertanya
peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak lepas dari pengaruh
luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan
oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah.
Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan
tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari massa
lereng (lihat rumus Faktor Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi
di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya
lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh
ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992); Bukit Lantiak, Padang dan
Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya
umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena kehadiran
air dalam tubuh lereng (Tabel 5).

Tabel 5. Penyebab longsor di beberapa tempat
Daftar dari berbagai surat kabar

3.1. Gempa atau Getaran.
Banyak kejadian longsor terjadi akibat gempa bumi. Gempa bumi Tes di
Sumatera Selatan tahun 1952 dan di Wonosobo tahun 1924, juga di Assam 27
Maret 1964 menyebabkan timbulnya tanah longsor (Pangular, 1985). Demikian
juga di Jayawijaya, Irian Jaya tahun 1987 (Siagian, 1989, dalam Tadjudin, 1996)
dan di Sindangwanggu, Majalengka tahun 1990 (Soehaimi, et.al., 1990). Di jalur
keretaapi Jakarta-Yogyakarta dekat Purwokerto tahun 1947 (Pangular, 1985)
akibat getaran dan di Cadas Pangeran, Sumedang bulan April; 1995, selain
morfologi dan sifat fisik/mekanik material tanah lapukan breksi, getaran
kendaraan pun ikut ambil bagian dalam kejadian longsor. Gempa di India dan
Peru (2000) juga menyebabkan longsor.
3.2. Cuaca / Iklim
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi
kadar air (water content; w, %) dan kejenuhan air (Saturation; Sr, %). Pada
beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu
terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih
jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan
kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah (mempengaruhi
kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan Faktor Kemanan lereng
(Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zufialdi, 1993).
Kondisi lingkungan geologi fisik sangat berperan dalam kejadian
gerakan tanah selain kurangnya kepedulian masyarakat karena kurang informasi
ataupun karena semakin merebaknya pengembangan wilayah yang mengambil
tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor.

3.3. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan
peranan aktifitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama
memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real
estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan
tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng.
Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng
akan menurun.
Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan
Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar
pula penurunan Faktor Keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau
makin rawan longsor. Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini.
Pengurangan beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan
bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan lainlain,
atau erosi (Hirnawan, 1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban
pada lereng antara lain:
1) longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang akibat
penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat tebing yang hampir
tegak lurus;
2) longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan
perumahan (real estate);
3) longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon) juga
diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.

3.4. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan
Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-alur pada
beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin meningkat dan akhirnya terjadilah
longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi.
Letak atau posisi penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi
Faktor Keamanan Lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki lereng
akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman tanaman keras di
puncak lereng justru akan menurunkan Faktor Keamanan Lereng sehingga
memperlemah kestabilan lereng (Hirnawan, 1993).
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan internal yang
datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karenaikutsertanya peranan air
dalam tubuh lereng;

3.5. Naiknya Muka Airtanah
Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagi
kestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili
oleh curah hujan) yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan,
atau muka airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang
berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material
tanah (soil). Kenaikan muka air tanah juga memperbesar debit air tanah dan
meningkatkan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion).
Akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan,
ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).

4. Faktor Keamanan Lereng
Banyak rumus perhitungan Faktor Keamanan lereng (material tanah)
yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng ini. Rumus dasar
Faktor Keamanan (Safety Factor, F) lereng (material tanah) yang diperkenalkan
oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan adalah : (Lambe & Whitman, 1969;
Parcher & Means, 1974) :
Gambar 3. Sketsa lereng dan gaya yang bekerja


Gambar 4. Sketsa gaya yang bekerja ( t dan S ) pada satu sayatan
Catatan :
Gambar 3 dan 4 dibahas lebih jauh pada bab 7 (halaman 26 dst.)

5. Berbagai Cara Analisis Kestabilan Lereng
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara
komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1) Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di
lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau
diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng
labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan
(Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman
seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat
pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah
dalam suatu peta lereng.
2) Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus
(Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara
Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis
kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan
tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
(a) tak terdrainase,
(b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
(c) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau
dengan kedalaman,
(d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu)
atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air
tanah.
Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah
melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir
saya yang dapat dihitung.
3) Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor,
Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk
material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen
(terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus
(cara komputasi).
Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat
menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur
strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang
menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor
Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang
diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor

6. Upaya Pengelolaan Lingkungan
Pengelolan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi, mencegah dan
menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif. Kajiannya
didasari pula oleh studi kelayakan teknik atau studi geologi yang mencakup
geologi teknik, mekanika tanah dan hidrogeologi. Dengan demikian pendekatan
dalam menangani lereng rawan longsor selain didasari oleh hasil rekomendasi
studi kelayakan teknik atau studi geologi, juga didasari pula oleh pengelolaan
lingkungannya. Diharapkan mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih
jauh lagi sehingga dapat mengantisipasi kekuatan dan keruntuhan suatu lereng.
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kondisi
fisik dan mekanik perlu diketahui pula. Pengaruh kenaikan kadar air, peletakan
beban, penanaman vegetasi dan kondisi kegempaan/getaran terhadap tubuh
lereng, merupakan kajian yang paling baik untuk mengenal kondisi suatu lereng.
Secara umum pencegahan/penanggulangan lereng longsor adalah mencoba
mengendalikan faktor-faktor penyebab maupun pemicunya. Kendati demikian,
tidak semua faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan kecuali dikurangi.
Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng adalah sebagai berikut :
(1) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara : Pemangkasan lereng;
Pemotongan lereng atau cut; biasanya digabungkan dengan pengisian/pengurugan
atau fill di kaki lereng; Pembuatan undak-undak. dan sebagainya
(2) Menambah beban di kaki lereng dengan cara :
· Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).
· Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif cepat; dinding penahan
atau retaining wall harus didesain terlebih dahulu)
· Membuat ‘bronjong’, batu-batu bentuk menyudut diikatkan dengan kawat;
bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan
dengan bentuk bulat, dan sebagainya
(3) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi kenaikan kadar air
tanah di dalam tubuh lereng Kadar airtanah dan mua air tanah biasanya
muncul pada musim hujan, pencegahan dengan cara :
· Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa paralon) di
kemiringan lereng dekat ke kaki lereng. Gunanya adalah supaya muka air
tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar, sehingga
muka air tanah turun
· Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga
evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh
lereng (infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara tersebut.
· Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan
atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan
jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off.
(4) Mengendalikan air permukaan dengan cara:
· Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari
puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
· Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air
larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.

Gambar 5. Beberapa upaya peningkatan stabilitas lereng


7. Cara Sederhana Perhitungan Faktor Keamanan Lereng
Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai
metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F dapat dihitung
dengan metoda sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk
suatu lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan
nilai faktor keamanannya dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi lereng
longsor, sebaiknya nilai F yang diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan
demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan dalam
suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai F (faktor keamanan lereng)
adalah sebagai berikut :
a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng)
meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke
puncak lereng.
b. Data mekanika tanah
· sudut geser dalam (f; derajat)
· bobot satuan isi tanah basah (gwet; g/cm3 atau kN/m3 atau ton/m3)
· kohesi (c; kg/cm2 atau kN/m2 atau ton/m2)
· kadar air tanah (w; %)
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak
terganggu. Kadar air tanah ( w ) diperlukan terutama dalam perhitungan yang
menggunakan komputer (terutama bila memerlukan data gdry atau bobot satuan
isi tanah kering, yaitu : gdry = g wet / ( 1 + w ). Pada lereng yang dipengaruhi oleh
muka air tanah nilai F (dengan metoda sayatan, Fellenius) adalah sbb.:


c = kohesi (kN/m2)
f = sudut geser dalam (derajat)
a = sudut bidang gelincir pada tiap sayatan (derajat)
m = tekanan air pori (kN/m2)
l = panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m);
L = jumlah panjang bidang gelincir
mi x li = tekanan pori di setiap sayatan (kN/m)
W = luas tiap bidang sayatan (M2) X bobot satuan isi tanah (g, kN/m3)

Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah sbb.:

Berikut ini adalah contoh perhitungan faktor keamanan cara Fellenius
pada lereng tanpa pengaruh muka air tanah, namun sebelumnya ada beberapa
langkah yang perlu diikut:
· Langkah pertama adalah membuat sketsa lereng berdasarkan data
penampang lereng,
· Dibuat sayatan-sayatan vertikal sampai batas bidang gelincir.
· Langkah berikutnya adalah membuat tabel untuk mempermudah
perhitungan.

Contoh perhitungan:
Diketahui f (sudut geser dalam) = 27,46o
Kohesi (c) = 18,722 kN/m2
Bobot satuan isi tanah (g.wet) = 16,067 kN/m3
Muka airtanah sangat dalam.
Penampang lereng seperti pada gambar.
(catatan: satuan harus diperhatikan)
SKALA 1:1.000
Gambar 6. Penampang lereng dengan irisannya serta bidang gelincir yang dipakai
untuk perhitungan faktor Keamanan cara manual maupun cara
komputer. A-B adalah bidang gelincir

Tabel 7. Perhitungan Faktor Keamanan cara sayatan (Fellenius)


Dari hasil hitungan didapat nilai F = 1,565399 maka makna dari nilai F
sebesar itu dapat dibandingkan dengan Tabel 6. Artinya adalah lereng relatif
stabil, pada kondisi F sebesar itu pada umumnya lereng jarang longsor.

8. Cara perhitungan dengan SOILCOM2.BAS
SOILCOM2.BAS adalah salah satu program komputer dalam bahasa
BASIC untuk mempermudah perhitungan Faktor Keamanan dengan metoda
sayatan (slice-method). Sebagai contoh perhitungan Faktor Keamanan lereng
pada gambar yang sama seperti Gambar 6. Data mekanika tanah dan
penampang yang digunakan adalah sama dengan hitungan yang pertama. Cara
ini digunakan sebagai pembanding dengan memanfaatkan sarana komputer .
Posisi tiap sayatan pada Gambar 6 harus dinyatakan dalam koordinat (lihat
Gambar 7 dan Tabel 8).
SKALA 1:1.000
Gambar 7. Penampang lereng dengan irisannya serta bidang gelincirnya
yang dipakai untuk perhitungan dengan komputer. Posisi
sayatanan dinyatakan dalam koordinat XY.
(A-B adalah bidang gelincir)

Tabel 8. Posisi koodinat lereng

* ) A = koordinat paling kanan dari lereng yang berpotongan dengan bidang gelincir (slip surface)
B = koordinat paling kiri dari lereng yang berpotongan dengan bidang gelincir (slip surface)

Dengan menggunakan SOILCOM2.BAS, didapat perhitungan sbb:

Nilai Faktor Keamanan (F) > 1,25 pada suatu lereng menurut Bowles
(1989) ditafsirkan sebagai lereng dengan longsor jarang terjadi atau disebut
sebagai relatif stabil. Untuk menyebutkan lereng stabil perlu dibuat nilai batas
yang aman selain F=1,25, karena nilai tersebut menandakan bahwa kejadian
longsor pernah terjadi (walaupun jarang). Untuk itu diusulkan nilai F > 2 sebagai
nilai yang aman bagi lereng (lereng stabil). Sebagai pebandingan, nilai F = 2 atau
F = 3 biasanya dipakai untuk nilai aman (faktor keamanan) bagi dayadukung
tanah untuk berbagai pondasi dangkal.
Dalam setiap perhitungan (cara manual maupun cara komputer), semua
satuan tiap-tiap variabel harus diperhatikan, seperti misalnya c (kohesi), f(sudut
geser-dalam), dan g (bobot sartuan isi tanah basah dan bobot satuan isi tanah
kering). Satuan disesuaikan melalui konversi dalam standar SI (Satuan
Internasional).

Tabel 9. Contoh penyesuaian satuan (konversi)
9. Latihan
A-A' = bidang gelincir
Skala 1:1.000
Gambar 8. Sketsa lereng di lapangan
SOAL (1) :
Gambar di atas adalah penampang lereng tanah. A-A' adalah bidang gelincir.
Bobot satuan isi tanah (g.wet, unit weight) diketahui = 16 kN/m3
Kohesi (c, cohession) diketahui = 9 kN/m2
Sudut geser dalam (f, angle of internal friction) = 10o
Ditanyakan :
35
ZufialdiZakaria/GEOTEKNIK-D1F322 Analisis Kestabilan Lereng Tanah
Berapa dan bagaimana F (Faktor Keamanan) lereng tersebut untuk kondisi
seperti gambar di atas apabila muka air tanah sangat dalam (tidak dipengaruhi
air tanah). Gunakan metoda sayatan seperti di atas dengan cara Fellenius.
CARA :
1. Buat tabel untuk perhitungan per-sayatan
2. Ukur panjang x, h dan ��
3. Ukur besar sudut bidang gelincir a tiap-tiap sayatan.
4. Hitung luas tiap-tiap sayatan
5. Hitung W tiap-tiap sayatan. W = luas masing-masing sayatan X bobot satuan
isi tanah
6. Hitung cos a kalikan dengan W pada masing-masing sayatan, sehingga
didapatkan Wcos a
7. Hitung sin a kalikan dengan W pada masing-masing sayatan, sehingga
didapatkan Wsin a.
8. Jumlahkan �� . Hasil penjumlahan = L.
9. Langkah selanjutnya::
a. Hitung c X L
b. Jumlahkan (W cos a ) pada semua sayatan
c. Jumlahkan (W sin a ) pada semua sayatan
d. Hitung tan f
10. Masukkan nilai-nilai tadi ke dalam rumus Fellenius.
11. Bandingkan hasil hitungan dengan hasil Bowles (1984) Tabel 6

Untuk lebih mempermudah perhitungan, jangan lupa gunakan tabel
untuk mempermudah perhitungan dan pemeriksaan ulang. Contoh tabel untuk
perhitungan dapat dilihat pada halaman berikutnya.
SOAL (2) :
Konversi dari suatu satuan ke satuan lainnya sangat diperlukan dalam
perhitungan faktor keamanan. Carilah berapa nilai masing-masing seusi dengan
nilai dengan satuan yang telah dicantumkan (diketahui).
1. 4 kg/cm2 ....... kg/m2 ....... kN/m2
2. 7 kg/m2 ....... kg/cm2 ....... kN/m2
3. 1.60 ton/m3 ....... g/cm3 ....... kN/m3
4. .... ton/m2 ....... kg/cm2 18.72 kN/m2
5. .... ton/m3 ....... g/cm3 16.67 kN/m3
6. 1.76 g/cm3 ...... ton/m3 ....... kN/m3
7. .... ton/m2 20 kg/cm2 ....... kN/m2

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H.Z., dan Kesumadhama, S., 1991, Konstruksi Jalan di daerah Pegunungan
tropis, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, PIT ke-20, Desember
1991, hal. 471- 481
Attewel, P.B.,& Farmer, I. W., 1976, Principles of engineering geology, Chapman
& Hall, London, 104p.
Bowles, JE.,1989, Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga, Jakarta, 562 hal.
Brunsden,D., Schortt,L., & Ibsen,M.L.(editor), 1997, Landslide Recognition, Identification
Movement and Causes, John Wiley & Sons, England, p. 137 - 148
Dikau, R. (editor) et.al., 1997, Landslide Recognition, John Willey & Sons, 251 p.
Fandeli,C.,1992, Analisis mengenai dampak lingkungan, prinsip dasar dan pemampanannya
dalam pembangunan, Liberty, Yogyakarta, 346 hal,
Hansen, M.J., 1984, Strategies for Classification of Landslides, (ed. : Brunsden, D,
& Prior, D.B., 1984, Slope Instability, John Wiley & Sons, p.1-25
Hirnawan, R.F., 1993, Ketanggapan Stabilitas Lereng Perbukitan Rawan Gerakantanah
atas Tanaman Keras, Hujan & Gempa, Disertasi, UNPAD, 302pp. .
Hirnawan, R. F., 1994, Peran faktor-faktor penentu zona berpotensi longsor di dalam
mandala geologi dan lingkungan fisiknya Jawa Barat, Majalah Ilmiah
Universitas Padjadjaran, No. 2, Vol. 12, hal. 32-42.
Hunt, R.E., 1984, Geotechnical engineering investigation manual, McGrawHill Book
Co., 984 p.
Lambe, T.W., & Withman, R.V., 1969, Soil Mechanics, John Willey & Sons Inc., New
York,553 p.
Parker, J.V., Means, R.E., 1974, Soil Mechanics and Foundations, Prentice Hall of
India, Ltd., New Delhi, 573p.
Pangular, D., 1985, Petunjuk Penyelidikan & Penanggulangan Gerakan Tanah, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Balitbang Departemen
Pekerjaan Umum, 233 hal.
Pikiran Rakyat, 18 Maret 1997, Harian Umum No, 347 / Tahun XXXI / 1997,
Gempa Guncang Jakarta dan JABAR.
Pikiran Rakyat, 15 April 1999, Harian Umum No. 21, Tahun XXXIV / 1999,
Bandung Rawan Bencana Gempa, hal 2 kolom 3-6.
Republika, 18 Maret 1997, Harian Umum No. 72/Th. 5/1997, Guncangan Gempa 6.0
Skala Richter, Warga Jakatra Panik,
Soemarwoto, O., 1990, Analisis Dampak Lingkungan, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 378 hal.
Strahler, A.N., & Strahler, A.H., 1983, Modern physical geography, John Willey &
Sons, 532 p.
Verruijt, 1982, Stabil2.3, Computer Program, Delft University.
Zakaria, Z., 2000, Peran Identifikasi Longsoran dalam Studi Pendahuluan Per39
ZufialdiZakaria/GEOTEKNIK-D1F322 Analisis Kestabilan Lereng Tanah
modelan Sistem STARLET Untuk Mitigasi Bencana Longsor, YEAR
BOOK MITIGASI BENCANA 1999, Januari 2000, Direktorat Teknologi
Pengelolaan Sumerdaya Lahan dan Kawasan, Bidang Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam, BPPT, hal. I.105 - I.123
Zaruba, Q., & Mecl, V., 1976, Engineering geology, Elsevier Publisher, Co.,
Amsterdam, 504 p.

Jumat, 16 September 2011

metode hammer test dan metode uji pembebanan (load test) pada pengujian stuktur beton

PENGUJIAN STRUKTUR BETON DENGAN METODE HAMMER TEST DAN
METODE UJI PEMBEBANAN (LOAD TEST)
dari Ir. MAWARDI LUBIS
Jurusan Teknik Sipil
Fakultas Teknik
Universitas Sumatera Utara

BAB-I

PENDAHULUAN
1.1. UMUM
Dalam pelaksanaan suatu konstruksi bangunan sering terdapat kegagalankegagalan
akibat kerusakan-kerusakan yang terjadi pada struktur atau bahagianbahagian
struktur pada waktu tahap pelaksanaannya maupun setelah selesai
dikerjakan. Kejadian ini antara lain disebabkan oleh adanya faktor-faktor yang
sebelumnya tidak diperhitungkan misalnya kesalahan dalam perencanaan dan
pelaksanaan serta adanya pelampauan beban akibat perubahan fungsi dari
bangunan.
Dalam perencanaan suatu struktur bangunan biasanya didahului dengan
membuat beberapa asumsi-asumsi misalnya besaran gaya-gaya yang bekerja
dan mutu bahan yang akan digunakan yang pada akhimya syclus perencanaan
harus diuji kebenarannya. Pembuktian asumsi-asumsi yang dibuat mebutuhkan
pengujian-pengujian dan percobaan-percobaan yang dapat berupa Quality
Control dan Quality Assurance. Walaupun telah didahului oleh Quality Control dan
quality Assurance yang terencana sering terjadi bahwa hasil akhir mutu bahan
yang dilaksanakan masih tetap berada dibawah kwalitas yang diinginkan. Hal ini
dapat terjadi karena kesalahan dalam pelaksanaan/perencanaan, penurunan
kinerja struktur yang sudah berdiri (struktur eksisting) dan apa yang disebut
dengan pengaruh skala (scale etfecs) .
Kwalitas produk dalam skala besar, misalnya untuk beton yang akan
digunakan dalam pembuatan suatu bangunan yang diproduksi secara besar
besaran dicoba diramalkan berdasarkan kwalitas bahwa tes yang diacu dalam
skala kecil dilaboratorium (test kubus) sewaktu melaksanakan perencanaan
campuran teton (mixed design).
Penyimpangan kwalitas akhir misalnya pada struktur yang menggunakan
beton sebagai materialnya dapat menyebabkan terjadinya retakan-retakan pada
sebahagian atau keseluruhan dari struktur bangunan. Jika penyimpangan
kwalitas akhir ini dijumpai pada pelaksanaan suatu bangunan ada dua alternatif
yang dapat diambil dalam penanggulangannya.
Pertama mengganti sebahagian atau keseluruhan struktur yang tidak
memenuhi persyaratan dan yang kedua mengadakan penelitian secara
menyeluruh tentang kekuatan dan kekakuan konstruksi untuk kemudian memberi
rekomendasi terhadap penggunaan tats ruang perkuatan konstruksi tersebut.
Untuk mendapatkan informasi tentang kekhawatiran mengenai tingkat
keamanan struktur dari suatu komponen bangunan ataupun bangunan secara
keseluruhan akibat adanya faktor-faktor yang tidak diperhitungkan sebelumnya
diperlukan pengujian-pengujian.
Ada beberapa bentuk metode pengujian yang dapat digunakan
diantaranya pengujian-pengujian setempat yang bersifat tidak merusak seperti
pengujian ultrasonik dan hammer serta bersifat setengah merusak ataupun
merusak secara keseluruhan komponen-komponen bangunan yang diuji berupa
pengujian pembebanan (Load Test). Dasar-dasar dan tahapan-tahapan yang
dilakukan dalam pengujian struktur eksisting yang umum ditarapkan dapat
dikemukakan secara ringkas pada uraian berikut ini.

1.2. DASAR.DASAR PENGUJIAN STRUKTUR
alat pengujian tanah

1. Kesalahan perencanaan/pelaksanaan.
a. Hasil pengamatan lapangan dimana terlihat adanya retak-retak atau
lendutan yang berlebihan pada bagian-bagian struktur.
b. Sifat material yang diuji selama pelaksanaan pembangunan struktur, yang
menunjukkan hasil-hasil yang tidak memenuhi syarat baik dari segi
kekuatan maupun durabilitas (sifat kekedapan terhadap air yang
disyaratkan untuk bangunan seperti kolam renang).
c. Hasil Perhitungan (dengan memakai kekuatan material yang aktual) yang
menunjukkan adanya penurunan kapasitas kekuatan struktur atau
komponen-komponen struktur
2. Penurunan kinerja struktur eksisting yang diakibatkan oleh:
a. Adanya pelapukan material pada struktur karena usianya yang sudah tua,
atau karena serangan zat-zat kimiawi tertentu yang merusak (seperti jenisjenis
senyawa asam).
b. Adanya kerusakan pada struktur atau bagian-bagian struktur karena bencana
kebakaran atau gempa atau karena struktur mengalami pembebanan
tambahan akibat adanya ledakan disekitar struktur ataupun beban lainnya
yang tidak direncanakan.
c. Rencana pembebanan tambahan pada struktur karena adanya :
- Perubahan fungsi / penggunaan struktur.
- Penambahan tingkat (pengembangan struktur).
d. Syarat untuk proses jual beli atau asuransi suatu struktur bangunan. Untuk
hal ini biasanya cukup dilakukan penyelidikan secara visual kecuali jika ada
tanda-tanda yang mencurigakan pada struktur.

1.3. TAHAPAN DALAM PENGUJIAN STRUKTUR.
1. Tahapan Perencanaan
Tahapan ini mencakup pendefinisian masalah, pemilihan jenis test yang
akan dilakukan yang tentunya sesuai dengan masalah yang dihadapi, penentuan
banyaknya pengujian yang akan dilakukan, dalam pemilihan lokasi pengujian
pada struktur/komponen struktur yang tentunya diharapkan dapat mewakili
kondisi struktur yang sebenamya. Tahapan-tahapan yang umumnya lakukan
pada tahap perencanaan ini dapat diuraikan sebagai berikut ini:

a. Penyelidikan visual.
Pengamatan Visual diperlukan sebagai tahapan awal untuk mendefinisikan
permasalahan yang ada dilapangan. Dari pengamatan visual ini bisa
didapatkan imformasi mengenai tingkat layanan (service ability) dari
komponen struktur (seperti lendutan), baik tidaknya pengerjaan pada saat
pembangunan struktur/ komponen struktur (misalnya ada bagian keropos dan
"honeycombing" pada beton) material (misal pelapukan beton) maupun
tingkat struktural (seperti retak-retak akibat lenturan pada struktur beton).
Untuk tahapan ini diperlukan adanya tenaga ahli yang terlatih yang dapat
mendeteksi hal-hal yang tidak normal yang terjadi pada struktur dan dapat
membedakan jenis-jenis kerusakan yang terjadi dan penyebabnya.
Sebagai contoh tenaga ahli tersebut harus mampu membedakan jenis-jenis
retak yang mungkin terjadi pada struktur beton. 
Sementara itu jenis pengujian lain yang tersedia seperti pengambilan sample core dari struktur
baton yang kemudian dilanjutkan dengan pengujian tekan dapat ssss
ililloririasi yang lebih akurat mengenai kuat tekan beton. Jadi, tingkat
keandalan hasil pengujian core tersebut tergolong tinggi. Namun, cara ini
membutuhkan biaya yang sangat tinggi yang memerlukan waktu pengerjaan
yang lebih lama. Selain itu, cara ini juga menimbulkan kerusakan pada
struktur. Jadi bisa dilihat disini bahwa sebagai langkah awal dalam memilih
jenis pengujian yang paling sesuai dengan situasi dan kondisi yang ada perlu
disusun terlebih dahulu tingkat prioritas dari hal-hal yang akan dijadikan
sebagai dasar pemilihan.
Namun perlu diperhatikan, bahwa biasanya tingkat
akurasi hasil pengukuran merupakan kriteria yang paling penting dalam
pemilihan jenis pengujian.
Biasanya untuk mengatasi kelemahan yang ada dari pengujian-pengujian
yang disebabkan pada ilustrasi diatas, dapat dilakukan penggabungan
beberapa jenis pengujian. Sebagai contoh, karena dapat memberikan hasil
yang akurat, pengujian core dapat digunakan untuk mengkalibrasi hasil
pengujian ultrasonik dan hammer. Karena sifatnya yang hanya sebagai
mengkalibrasi, jumlah core yang diperlukan dapat diperkecil, sehingga
kerusakan yang timbul pun dapat diminimkan.
Untuk dapat membedakan jenis-jenis retak tersebut beserta penyebabnya,
perlu dilakukan penyelidikan yang mendalam mengenai pola retak yang
terjadi. Dari penyelidikan tersebut bisa didapat dugaan-dugaan awal
mengenai penyebab retak.

b. Pemilihan Jenis Pengujian.
Hal-hal yang perlu diperhatikan dalam pemilihan jenis pengujian struktur
terdiri atas :
- Tingkat kerusakan struktur yang diizinkan terjadi.
- Waktu penge~aan
- Tingkat keandalan hasil pengujian
- Jenis permasalahan yang dihadapi.
Kemungkinan besar jenis pengujian yang tersedia tidak dapat memenuhi
semua hal diatas secara optimal, sehingga diperlukan suatu kompromi.
Sebagai ilustrasi disampaikan disini bahwa metoda-metoda pengujian beton
yang sifatnya tidak merusak (seperti ultrasonik dan hammer test yang dapat
digunakan untuk mengetahui kuat tekan beton pad a struktur) biasanya
merupakan bentuk pengujian yang sangat sederhana, cepat dan murah.
Namun, tingkat kesulitan dalam mengkalibrasi hasil pengujian untuk proses
interpretasi parameter kuat tekan tergolong tinggi. Disamping itu, jika
kalibrasi ini tidak dilakukan secara baik dan benar, tingkat keandalan hasil
pengujian dengan menggunakan alaI-alaI tersebut akan menjadi rendah.

c. Jumlah dan Lokasi Pengujian.
Penentuan jumlah mengujian yang dibutuhkan ditentukan oleh :
- Tingkat akurasi yang ditentukan (hubungannya dengan statistik).
- Tingkat kesulitan pengujian/pengambilan sample
- Biaya yang dibutuhkan
- Tingkat kerusakan.
Sebagai contoh, untuk pengujian hammer, untuk mengetahui kuat tekan
beton dengan tingkat akurasi yang tinggi, diperlukan pengujian minimal 10
titik didekitar lokasi yang diuji pada struktur atau komponen struktur beton.
Untuk jenis-jenis pengujian yang tidak merusak, karena kecepatan
pelaksanaannya, biasanya dapat dilakukan dalam jumlah yang besar yang
lokasinya dapat disebaran sehingga mencakupi semua daerah dari komponen
struktur yang akan diuji.

2. Tahapan Pelaksanaan.
Pada tahap pelaksanaan pertu diperhatikan tingkat kesulitan dalam
mencapai lokasi-lokasi yang telah ditentukan sebagai lokasi pengujian. Jika
diperlukan, sistem perancah dapat digunakan, namun sistemnya harus
direncanakan dan dipersiapkan dengan baik. Penanganan peralatan pengujian
harus dilakukan dengan baik selama pelaksanaan.
Demikian juga dengan keselamatan tenaga pelaksana harus diperhatikan (tenaga
pekerja perlu dilengkapi dengan peralatan keselamatan seperti "hard har” tali
pengikat dan lain-lain).

Perlu juga diperhatikan pada saat pelaksanaan, pengaruh gangguan yang
mungkin timbul dari pengujian tersebut terhadap gedung-gedung/strukturstruktur
disekitas lokasi struktur yang akan diuji.

3. Tahapan Interpretasi.
Tahap interpretasi dapat dibagi menjadi tiga tahapan yang berbeda :
a. Peninjauan mengenai kekuatan bahan.
b. Kalibrasi
c. Analisa / Perhitungan.

BAB-II

METODE HAMMER TEST
UMUM
Hammer test yaitu suatu alat pemeriksaan mutu beton tanpa merusak
beton. Disamping itu dengan menggunakan metode ini akan diperoleh cukup
banyak data dalam waktu yang relatif singkat dengan biaya yang murah.
Metode pengujian ini dilakukan dengan memberikan beban intact
(tumbukan) pada permukaan beton dengan menggunakan suatu massa yang
diaktifkan dengan menggunakan energi yang besarnya tertentu. Jarak pantulan
yang timbul dari massa tersebut pada saat terjadi tumbukan dengan permukaan
beton benda uji dapat memberikan indikasi kekerasan juga setelah dikalibrasi,
dapat memberikan pengujian ini adalah jenis "Hammer". Alat ini sangat berguna
untuk mengetahui keseragaman material beton pada struktur. Karena
kesederhanaannya, pengujian dengan menggunakan alat ini sangat cepat,
sehingga dapat mencakup area pengujian yang luas dalam waktu yang singkat.
Alat ini sangat peka terhadap variasi yang ada pada permukaan beton, misalnya
keberadaan partikel batu pada bagian-bagian tertentu dekat permukaan.
Oleh karena itu, diperlukan pengambilan beberapa kali pengukuran
disekitar setiap lokasi pengukuran, yang hasilnya kemudian dirata-ratakan
British Standards (BS) mengisyaratkan pengambilan antara 9 sampai 25 kali
pengukuran untuk setiap daerah pengujian seluas maksimum 300 mm2.
Secara umum alat ini bisa digunakan untuk:
- Memeriksa keseragaman kwalitas beton pada struktur.
- Mendapatkan perkiraan kuat tekan beton.

2. SPESIFIKASI
Spesifikasi mengenai penggunaan alat ini bisa dilihat pada BS4408 pt. 4 atau
ASTM G80S-89.
hammer test

a. Kelebihan dan kekurangan "Hammer test".
Kelebihan :
- Murah
- Pengukuran bisa dilakukan dengan cepat
- Praktis (mudah digunakan).
- Tidak merusak
Kekurangan :
- Hasil pengujian dipengaruhi oleh kerataan permukaan, kelembaban beton, sifatsifat
dan jenis agregat kasar, derajad karbonisasi dan umur beton. Oleh karena
itu perlu diingat bahwa beton yang akan diuji haruslah dari jenis dan kondisi
yang sama.
- Sulit mengkalibrasi hasil pengujian.
- Tingkat keandalannya rendah.
- Hanya memberikan imformasi mengenai karakteristik beton pada permukaan

b. Kalibrasi.
Seperti yang disebutkan sebelumnya, banyak sekali variabel yang
berpengaruh terhadap hasil pengukuran dengan menggunakan peralatan
hammer. Oleh karena itu sangat sulit untuk mendapatkan diagram kalibrasi yang
bersifat umum yang dapat menghubungkan parameter tegangan beton sebagai
fungsi dari pada jumlah skala pemantulan hammer dan dapat diaplikasikan untuk
sembarang beton.
Jadi dengan kata lain diagram kalibrasi sebaiknya berbeda untuk setiap
jenis campuran beton yang berbeda. Oleh karena itu setiap jenis beton yang
berbeda, perlu diturunkan diagram kalibrasi tersebut perlu dilakukan pengujian
tekan sample hasil coring untuk setiap jenis beton yang berbeda dari struktur
yang sedang ditinjau. Hasil uji coring tersebut kemudian dijadikan sebagai
konstanta untuk mengkalibrasikan bacaan yang didapat dari peralatan hammer
tersebut.
Perlu diberi catatan disini bahwa penggunaan diagram kalibrasi yang
dibuat oleh produsen alat uji hammer sebagainya dihindarkan, karena diagram
kalibrasi tersebut diturunkan atas dasar pengujian beton dengan jenis dan ukuran
agregat tertentu, bentuk benda uji yang tertentu dan kondisii test yang tertentu.

II. 3. PERSIAPAN DAN TATA CARA PENGUJIAN.
II. 3. 1. Persiapan. 

a. Menyusun rencana jadwal pengujian, mempersiapkan peralatan-peralatan
serta perlengkapan-perlengkapan yang diperlukan.

b. Mencari data dan informasi termasuk diantaranya data tentang letak detail
konstruksi, tata ruang dan mutu bahan konstruksi selama pelaksanaan
bangunan berlangsung.

c. Menentukan titik test.

d. Titik test untuk kolom diambil sebanyak 5 (lima) titik, masing-masing titik test
terdiri dari 8 (delapan) titik tembak, untuk balok diambil sebanyak 3 (tiga)
titik test masing-masing titik terdiri dari 5 (lima) titik tembak sedang pelat
lantai diambil sebanyak 5 (lima) titik test masing-masing terdiri dari 5 (lima)
titik tembak.

II. 3. 2. Tata Cara Pengujian.
a. Sentuhan ujung plunger yang terdapat pada ujung alat hammer test pada
titik-titik yang akan ditembak dengan memegang hammer sedemikian rupa
dengan arah tegak lurus atau miring bidang permukaan beton yang akan
ditest.
b. Plunger ditekan secara periahan-lahan pada titik tembak dengan tetap
menjaga kestabilan arah dari alat hammer. Pada saat ujung plunger akan
lenyap masuk kesarangnya akan terjadi tembakan oleh plunger terhadap
beton, dan tekan tombol yang terdapat dekat pangkal hammer.
c. Lakukan pengetesan terhadap masing-masing titik tembak yang telah
ditetapkan semula dengan cara yang sama.
d. Tarik garis vertikal dari nilai pantul yang dibaca pada grafik 1 yaitu hubungan
antara nilai pantul dengan kekuatan tekan beton yang terdapat pada alat
hammer sehingga memotong kurva yang sesuai dengan sudut tembak
hammer.
e. Besar kekuatan tekan beton yang ditest dapat dibaca pada sumbu vertikal
yaitu hasil perpotongan garis horizontal dengan sumbu vertikal.
Oleh karena itu mutu beton yang dinyatakan dengan kekuatan karakteristik α bk
didasarkan atas kekuatan tekan beton yang diperoleh pada saat pengetesan
dilaksanakan perlu dikonversi menjadi kekuatan tekan beton umur 28 hari.


BAB -III

METODE UJI PEMBEBANAN (LOAD TEST)
 III.1. UMUM.
Uji pembebanan (load test) adalah merupakan suatu metode pengujian
yang bersifat setengah merusak atau merusak secara keseluruhan komponenkomponen
bangunan yang diuji. Pengujian yang dimaksud dapat dilakukan
dengan beberapa metode salah satu diantaranya adalah metode uji beban (Load
Test).

Tujuan load test pada dasarnya adalah untuk membuktikan bahwa tingkat
keamanan suatu struktur atau bagian struktur sudah memenuhi persyaratan
peraturan bangunan yang ada, yang tujuannya untuk menjamin keselamatan
umum. Oleh karena itu biasanya load test hanya dipusatkan pada bagian-bagian
struktur yang dicurigai tidak memenuhi persyaratan tingkat keamanan
berdasarkan data-data hasil pengujian material dan hasil pengamatan.

III. 2. PEMAKAIAN UJI PEMBEBANAN.
 Uji pembebanan biasanya perlu dilakukan untuk kondisi-kondisi seperti
berikut ini:

a. Perhitungan analistis tidak memungkinkan untuk dilakukan karena
keterbatasan imformasi mengenai detail dan geometri struktur.

b. Kinerja struktur yang sudah menurun karena adanya penurunan kwalitas
bahan, akibat serangan zat kimia, ataupun karena adanya kerusakan flsik
yang dialami bagian-bagian struktur,akibat kebakaran, gempa, pembebanan
yang berlebihan dan lain-lain.

c. Tingkat keamanan struktur yang rendah akibat jeleknya kwalitas pelaksanaan
ataupun akibat adanya kesalahan pada perencanaan yang sebelumnya tidak
terdeteksi.

d. Struktur direncanakan dengan metode-metode yang non-stardard, sehingga
menimbulkan kekhawatiran mengenai tingkat keamanan struktur tersebut.

e. Perubahan fungsi struktur, sehingga menimbulkan pembebanan tambahan
yang belum diperhitungkan dalam perencanaan.

f. Diperlukannya pembuktian mengenai kinenja suatu struktur yang baru saja di
renovasi.

III. 3. JENIS-JENIS LOAD TEST.
 Uji pembebanan dikategorikan dalam dua kelompok, yaitu :
a. Pengujian ditempat (in.situ) yang biasanya bersifat non-destructive.
b. Pengujian bagian-bagian struktur yang diambil dari struktur utamanya.

Pengujian biasanya dilakukan dilaboratorium dan sifat merusak.
Pemilihan jenis uji pembebanan ini tergantung pad a situasi dan kondisi
tetapi biasanya cara kedua dipilih jika cara pertama tidak peraktis (tidak
mungkin) untuk dilaksanakan. Selain itu pemilihan jenis pengujian bergantung
pada tujuan diadakannya load test. Kalau tujuannya hanya ingin mengetahui
tingkat layanan struktur, maka pilihan pertama tentunya yang paling baik. Tetapi
ingin mengetahu kekuatan batas dari suatu bagian struktur, yang nantinya akan
digunakan sebagai kalibrasi untuk bagian-bagian struktur lainnya yang
mempunyai kondisi yang sama, maka cara kedualah yang pilih.

III. 3. 1. Pengujian Pembebanan di tempat (In-Situ Load test).
Tujuan utama dari pembebanan ini adalah untuk memperhatikan apakah
prilaku suatu struktur pada saat diberi beban kerja (working load) memenuhi
persyaratan banguan yang ada yang pada dasarnya dibuat agar keamanan
masyarakat umum terjamin. Prilaku struktur tersebut dinilai berdasarkan
pengukuran lendutan yang terjadi. Selain itu penampakan struktur pada saat
retak-retak yang terjadi selama pengujian masih dalam batas-batas yang wajar.
Beberapa hal yang patut menjadi perhatian dalam pelaksanaan loading test akan
diberikan dalam uraian berikut ini.

a. Persiapan dan Tata Cara Pengujian.
 ACI-318’89 mengisyaratkan bahwa uji pembebanan hanya bisa dilakukan jika
struktur beton berumur lebih dari 56 hari. Pemilihan bagian struktur yang
akan diuji dilakukan dengan mempertimbangkan :
a. Permasalahan yang ada
b. Tingkat keutamaan bagian struktur yang akan diuji.
c. Kemudahan pelaksanaan.

Bagian struktur yang akan memikul bagian struktur yang akan diuji dan
beban ujinya juga harus dipertimbangkan/dilihat apakah kondisinya baik dan
kuat Selain itu "scaffolding" juga harus dipersiapkan untuk mengantisipasi
beban-beban yang timbul jika terjadi keruntuhan bagian struktur yang diuji.
Beban pengujian harus direncanakan sedemikian rupa sehingga bagian
struktur yang dimaksud benar-benar mendapatkan beban yang sesuai dengan
yang direncanakan.
Hal ini kadang kala sulit direncanakan, terutama untuk
pengujian struktur lantai. Hal ini dikarenakan adanya keterkaitan antara
bagian struktur yang diuji dengan bagian struktur lain yang ada disekitarnya.
Sehingga Timbul apa yang disebut pengaruh pembagian pembebanan ("Load
sharing effect").
Pengaruh ini juga bisa ditimbulkan oleh elemen-elemen nonstruktual
yang menempel pada lagian struktur yang akan diuji, sebagai
contoh "ceiling board", Elemen non struktural ini dapat berfungsi
mendistribusikan beban pada komponen-komponen struktur dibawahnya yang
sebenarnya tidak saling berhubungan.
Untuk menghindari terjadinya distribusi
beban yang akan diinginkan maka bagian struktur yang akan diuji sebaiknya
diisolasikan dari bagian struktur yang ada disekitarnya.

ACI-318- ’ 89 mengisyaratkan bahwa besamya beban yang harus
diaplikasikan selama "load test" (termasuk beban mati yang sudah ada pada
struktur) adalah :
Beban total = 0,85 (1,4D + 1,7 L)
Dimana : D = beban mati
L = benda hidup (termasuk faktor reduksinya)
Beban mati harus diaplikasikan 48 jam sebelum "load test" dimulai. Sebelum
beban diterapkan, terlebih dahulu dilakukan pembacaan lendutan awal yang
nantinya dijadikan sebagai acuan untuk pembacaan lendutan setelah
penerapan beban. Pembebanan harus dilakukan secara bertahap dan
perlahan-lahan, sehingga tidak menimbulkan beban kejutan pede struktur.
Setelah beban-beban yang direncanakan berada pada struktur yang diuji
selama 24 jam, pembacaan lendutan bisa dilakukan. Setelah pembacaan
beban bisa dilepaskan dari struktur. Dua puluh empat jam setelah itu
pembacaan lendutan dilakukan kembali.

Kriteria umum yang harus dipenuhi dari hasil load test ini adalah struktur
tidak boleh memperlihatkan tanda-tanda keruntuhan seperti terbentuknya
retak-retak yang berlebihan atau menjadi lendutan yang melebihi persyaratan
keamanan yang telah ditetapkan dalam peraturan-peraturan bangunan.
Sebagai contoh, ACI mensyaratkan bahwa untuk balok/lantai diatas tumpuan:

L2 δ maks < 20000 h
dimana, δ maks = lendutan maksimum yang terjadi, inch
L = Panjang bentang, inch
h = Tinggi penampang
Persyaratan lendutan diatas bisa dilanggar tapi dengan syarat lendutan yang
terjadi setelah beban-beban bekerja yang dilepaskan haruslah lebih kecil dari
25 % δ maks.

Jika struktur gagal dalam "load test", maka :
Struktur tidak boleh digunakan sama sekali jika sudah terjadi tanda-tanda
kerusakan struktural yang fatal).
Struktur masih bisa digunakan, tapi dengan pembatasan beban-beban yang
bekerja sehingga sesuai dengan kekuatan struktur yang sebenarnya. Jadi
disini fungsi struktur dikurangi.

b. Teknik Pembebanan.
Pembebanan harus dilakukan sedemikian rupa sehingga laju distribusi
pembebanan dapat dikontrol (gambar 1). Beban yang bisa digunakan
diantaranya air, bata/batako, kantong semen/pasir, pemberat baja dan lainlain.
Pemilihan beban yang akan digunakan tergantung dengan distribusi
pembebanan yang diinginkan, besarnya total beban yang dibutuhkan, dan
kemudahan pemindahannya.

c. Pengukuran.
Parameter yang biasanya diukur dalam "load test" adalah lendutan, lebar
retak. dan regangan. Gambar 2 memperlihatkan aplikasi beberapa jenis alat
ukur dalam "load test". Lebar retak yang terjadi biasanya diukur dengan
mikroskop tangan yang dilengkapi dengan lampu dan mempunyai lensa yang
diberi garis-garis berskala yang ketebalannya berbeda-beda (gambar 3). Cara
pengukuran adalah dengan membandingkan lebar retak yang terjadi, lewat
peneropongan dengan mikroskop dengan lebar garis-garis berskala tersebut.
Pola retak-retak yang terjadi biasanya ditandai dengan menggambarkan
garis-garis yang mengikuti pola retak yang ada dengan menggunakan spidol
berwarna (diujung garis-garis tersebut dituliskan imformasi mengenai tingkat
pembebanan dan lebar retak yang sudah terjadi).


Gambar 1: Teknik Pembebanan
Teknik pembebanan
Gambar 2: Teknik Pengukuran

Teknik Pengukuran

Gambar 3: Mikroskop untuk Pemeriksaan retak-retak pada beton
alat-alat pemeriksaan

III. 3. 2. Uji Merusak
Uji merusak biasanya ditempuh jika pengujian ditempat (in-situ) tidak
mungkin dilakukan atau jika tujuan utama pengujian adalah mengetahui
kapasitas suatu bagian struktur yang nantinya akan dijadikan sebagai acuan
dalam menilai bagian-bagian struktur lainnya yang identik dengan bagian
yang diuji. Pengujian jenis ini biasanya memakan waktu dan biaya yang
besar, terutama untuk pemindahan dan penggantian bagian struktur yang
akan diuji dilaboratorium. Namun, walaupun begitu hasil yang bisa diharapkan
dari pengujian jenis ini tergolong sangat akurat dan informatif. Mengenai
teknik pelaksanaan dalam pengukuran untuk pengujian jenis ini sama dengan
teknik-teknik yang sudah diuraikan sebelumnya.

BAB - IV
PENUTUP KESIMPULAN
1. Methode Hammer Test
a. Pengujian jenis ini dilakukan pada pengujian-pengujian setempat dan bersifat
tidak merusak struktur. Dapat digunakan dengan mudah (praktis),
pengukuran dapat dilakukan dengan cepat dengan memperoleh data yang
cukup banyak dan biaya murah.

b. Beton yang diuji haruslah dari jenis dan kondisi yang sama karena hasil
pengujian dipengaruhi oleh kerataan permukaan, kelembaman beton, sifat
dan jenis agregat kasar, drajad kombinasi dan umur beton.

c. Tingkat keandalan rendah, sulit mengkalibrasi hasil pengujian dan sifatnya
hanya memberikan informasi mengenai karakteristik teton pada permukaan.

2. Metode Uji Pembebanan.
a. Pengujian dilakukan apabila perhitungan analitis tidak mungkin dilakukan
karena keterbatasan informasi, kinerja struktur sudah menurun, tingkat
keamanan yang rendah dan perubahan fungsi struktur.

b. Pengujian dapat berupa pengujian ditempat dan bagian-bagian struktur yang
penggunaannya tergantung pada situasi, kondisi dan tujuan dilakukannya
pengujian yang bersifat setengah merusak maupun merusak secara
keseluruhan komponen-komponen struktur.

c. Jika terjadi kerusakan yang fatal setelah dilakukan pengujian, struktur tidak
boleh digunakan sama sekali, kalaupun masih digunakan dengan pembatasan
beban-beban yang bekerja atau fungsi struktur dikurangi.

DAFTAR PUSTAKA
BATHE, K.J Numerical Method In Finite Element Aanolisis, Prentic Hall, New York,
1982
Yayasan Dana Normalisasi Indonesia, Peraturan Beton Bertulang Indonesia 1971
(PBI-71) NI-2 Dep. PU dan Tenaga listrik, Dirjen Cipta karya LPMB.
TIMOSHENKO AND YOUNG, Theon of Elasatificity.
UGURAL, Advance Strength and Appilied Elasticity

Kamis, 08 September 2011

Jembatan

Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas

Jembatan merupakan satu struktur yang dibuat untuk menyeberangi jurang atau rintangan seperti sungai, rel kereta api ataupun jalan raya. Ia dibangun untuk membolehkan laluan pejalan kaki, pemandu kenderaan atau kereta api di atas halangan itu.

Daftar isi

Sejarah

Jembatan pertama yang dibuat dengan titian kayu untuk menyeberangi sungai. Ada juga orang yang menggunakan dua utas tali atau rotan, yang diikat pada bebatuan di tepi sungai. Seterusnya, batu digunakan, tetapi cuma sebagai rangka. Jembatan gerbang berbentuk melengkung yang pertama dibuat semasa zaman Emperor Roma, dan masih banyak jembatan dan saluran air orang Roma yang kenal hingga hari ini. Orang-orang Roma juga mempunyai pengetahuan, yang mengurangkan perbedaan kekuatan batu2 yang berbeda. Jembatan bata dan mortar dibuat pada zaman kaisar Romawi, karena sesudah zaman tersebut, teknologi pengetahuan telah hilang. Pada Zaman Pertengahan, tiang-tiang jembatan batu biasanya lebih besar sehingga menyebabkan kesulitan kepada kapal-kapal yang lalu-lalang di sungai tersebut.
Pada abad ke-18, mulai banyak pembaruan dalam pembuatan jembatan kayu oleh Hans Ulrich, Johannes Grubenmann dan lain-lain. Dengan kedatangan Revolusi Industri pada abad ke-19, sistem rangka (truss system) menggunakan besi untuk memajukan untuk pembuatan jembatan yang lebih besar, tetapi besi tidak mempunyai kekuatan ketegangan (tensile strength) yang cukup untuk beban yang besar. Apabila mempunyai kekuatan ketegangan yang tinggi, jembatan yang lebih besar akan dibuat, kebanyakannya menggunakan idea Gustave Eiffel, yang pertama kali dipertunjukkan di Menara Eiffel di Paris, Perancis. Yang sesuai digunakan untuk pembuatan jembatan yang panjang karena ia mempunyai kekuatan-kepada-berat yang tinggi, tetapi konkrit pula mempunyai kos penjagaan yang lebih murah. Jadi, selalunya "konkrit diperkuat" (reinforced concrete) digunakan - kekuatan ketegangan konkrit yang lemah diisi oleh kabel tembaga yang ditanam di dalam konkrit itu.

Jenis-jenis jembatan

Jenis-jenis jembatan boleh dikelaskan mengikut kegunaannya ataupun struktur binaannya.

Dari segi kegunaan

Jembatan kereta api di daerah Priangan di masa Hindia Belanda
Suatu jembatan biasanya dirancang sama untuk kereta api, untuk pemandu jalan raya atau untuk pejalan kaki. Ada juga jambatan yang dibangun untuk pipa-pipa besar dan saluran air yang bisa digunakan untuk membawa barang. Kadang-kadang, terdapat batasan dalam penggunaan jembatan; contohnya, ada jembatan yang dikususkan untuk jalan raya dan tidak boleh digunakan oleh pejalan kaki atau penunggang sepeda. Ada juga jembatan yang dibangun untuk pejalan kaki (jembatan penyeberangan), dan boleh digunakan untuk penunggang sepeda.

Jembatan upacara dan hiasan

Setengah jembatan dibuat lebih tinggi daripada yang diperlukan, agar pantulan jembatan itu akan melengkapkan sebuah bulatan. Jembatan seperti ini, yang selalunya dijumpai di taman oriental, dipanggil "Jembatan Bulan", kerana jambatan itu dan pantulannya menyerupai sebuah bulan purnama.
Adalah biasa di istana2 jembatan dibuat sungai tiruan sebagai simbol perjalanan ke tempat ataupun keadaan minda yang penting. Ada satu set yang terdiri daripada lima jambatan yang merentasi satu sungai yang berbelit-belit di salah sebuah laman penting di Bandar Terlarang (Forbidden City) di Beijing, Cina. Jambatan yang tengah hanya boleh dilalui oleh Maharaja, Permaisuri dan dayang-dayang mereka.

Dari segi struktur

Perancangan dan bahan asas pembinaan jambatan bergantung kepada lokasi dan juga jenis muatan yang akan ditanggungnya. Berikut adalah beberapa jenis jambatan yang utama:

Jembatan batang kayu (log bridge)

Jambatan yang terawal adalah apabila manusia mengambil kesempatan dari pohon kayu yang tumbang merentasi sungai. Jadi, tak hairanlah jika jambatan yang pertama dibuat ialah pokok yang sengaja ditumbangkan meintasi sungai. Kini, jambatan seperti itu hanya digunakan secara sementara, contohnya di tempat2 pembalakan, yang mana jalan yang dibuat hanyalah untuk sementara dan kemudian ditinggalkan. Ini karena jembatan seperti ini mempunyai jangka waktu yang pendek disebabkan oleh pohon menyentuh tanah (yang basah) hingga menyebabkannya mereput, serta serangan anai-anai dan serangga-serangga lain. Jembatan batang kayu yang tahan lama boleh dibuat dengan menggunakan tapak konkrit yang tidak ditakungi air dan dijaga dengan baik.

Jembatan lengkung (arch bridge)

Jembatan lengkung di jalan dari Sukaraja ke Purbalingga (1900-1905)

Jembatan alang (Beam bridge)

Jembatan ini juga bisa disebut keturunan langsung jambatan batang kayu, jambatan alang biasanya dibuat dari alang keluli "I", konkrit diperkuat atau konkrit telah-tertegang (post-tensioned concrete) yang panjang. Ia kurang digunakan sekarang kecuali untuk jarak yang dekat. Jembatan ini selalu digunakan untuk jembatan pejalan kaki dan juga jembatan-jembatan yang merintangi hutan.

Jembatan kerangka (Truss bridge)

Jika alang2 itu disusun dalam bentuk kekisi, contohnya segitiga, supaya setiap alang hanya menampung sebagian berat struktur itu, maka ia dinamakan jembatan kerangka. Jika dibandingkan dengan jembatan alang, jembatan kerangka adalah lebih hemat dalam penggunaan bahan. Kerangka bisa menahan beban yang lebih berat untuk jarak yang lebih jauh menggunakan elemen yang lebih pendek daripada jambatan alang. Ada berbagai jenis cara untuk membuat kerangka ini, namun begitu, semuanya menggunakan prinsip penggiliran elemen tegangan dan tekanan. Sekiranya satu-satu elemen itu telah diketahui - melalui analisis kejuruteraan - hanya akan mengalami ketegangan tanpa tekanan atau kenduran, maka ia bisa dibuat dari batang keluli yang lebih langsing. Bagian atas kerangka selalunya mengalami tekanan, manakala bagian bawahnya mengalami tegangan.
Jembatan ini selalu dibuat dengan menggunakan dua kerangka yang dihubungkan dengan elemen-elemen penjuru yang mendatar untuk membentuk sebuah struktur berbentuk kotak. Jalan yang akan dilalui boleh terjadi daripada sebagian elemen-elemen atas atau bawah, atau juga boleh digantung di tengah-tengah. Jika jambatan itu harus menyeberangi jurang yang sangat dalam, kerangka itu boleh diimbangi. Ini selalunya terjadi jika tebing yang betul-betul bertentangan membuatkan kerja-kerja pembuatan lebih sukar.
Jambatan kerangka boleh dibuat dari hampir semua bahan yang keras dan kuat, termasuk batang kayu, keluli ataupun konkrit diperkuat. Konsep kerangka ini juga digunakan dalam jembatan-jembatan yang lain ataupun komponen-komponen jembatan seperti struktur geladak jambatan gantung.

Jembatan gerbang tertekan (Compression arch bridge)

Jembatan berbentuk ini adalah antara jambatan yang paling awal yang dapat merintangi jarak yang jauh menggunakan batu bata ataupun konkrit. Bahan-bahan ini boleh menerima tekanan yang tinggi tetapi tidak boleh menahan tegangan yang kuat. Jambatan ini berbentuk pintu gerbang - maka sebarang tekanan menegak akan turut menghasilkan tekanan mendatar di puncak gerbang itu.
Di kebanyakan jembatan gerbang, jalan diletakkan di atas struktur gerbang itu. Saluran air orang-orang Roma dahulu menggunakan kaedah untuk menyusun beberapa jembatan gerbang - daripada jembatan panjang kepada jembatan pendek apabila ketinggian ditambahkan - untuk mencapai ketinggian sambil mengekalkan ketegaran struktur itu, dengan mengelakkan pembinaan elemen menegak yang tinggi dan langsing. Jembatan gerbang ini masih digunakan di terusan-terusan air dan jalan raya kerana ia mempunyai bentuk yang menarik, terutamanya apabila ia menyeberangi air kerana pantulan gerbang itu membentuk kesan visual berbentuk bulatan dan bujur.
Kebanyakan jembatan gerbang tertekan moden dibuat daripada konkrit diperkuat. Untuk pembuatannya, pendukung sementara bisa didirikan untuk mendukung bentuk jembatan itu. Apabila konkrit telah mengeras, barulah pendukung sementara itu dibuang.
Salah satu variasi kepada jembatan jenis ini adalah apabila gerbang jembatan itu naik lebih tinggi daripada jalan. Dalam kes ini, kabel tembaga menghubungkan jalan dengan gerbang itu.

Jembatan gantung (Suspension bridge)

Jembatan gantung adalah satu lagi jenis jembatan yang pertama, dan masih lagi dibuat menggunakan bahan asli, seperti tali jerami di setengah daerah di Amerika Selatan. Sudah semestinya jembatan ini diperbarui secara berkala kerana bahan ini tidak tahan lama, dan di sana, bahan-bahan ini dibuat oleh keluarga-keluarga sebagai sumbangan masyarakat. Sejenis variasi yang lebih kekal, sesuai untuk pejalan kaki dan kadang kala penunggang kuda boleh dibuat daripada tali biasa. Puak Inca di Peru juga pernah menggunakan jembatan ini pada abad ke-16 untuk jarak sejauh 60 meter. Bagi jembatan ini, laluan jalan akan mengikut lengkungan menurun dan menaik kabel yang membawa beban. Tali tambahan juga diletakkan pada paras yang lebih tinggi sebagai tempat berpegang. Untuk berjalan di jembatan seperti ini, dengan cara berjalan seperti meluncur, karena cara berjalan yang biasa akan menghasilkan gelombang bergerak yang akan menyebabkan jembatan dan pejalan kaki bergoyang atas-ke-bawah atau kiri-ke-kanan.
Jembatan gantung modern yang mampu membawa kendaraan menggunakan dua menara menggantikan pokok. Kabel yang merentangi jembatan ini perlu ditambat dengan kuat di kedua belah ujung jembatan, karena sebagian besar beban di atas jembatan akan dipikul oleh tegangan di dalam kabel utama ini. Sebagai jalannya dihubungkan ke kabel utama dengan menggunakan jaringan kabel-kabel lain yang digantung menegak. Jembatan seperti ini hanya cocok digunakan untuk jarak yang jauh, atau tidak memungkinkan didirikan tiang penahan karena arus deras dan berbahaya. Jembatan seperti ini juga selalu menjadi suatu pemandangan yang bagus. jembatan ini tidak sesuai untuk digunakan oleh kereta api karena akan melentur disebabkan oleh beban kereta.

Jembatan kabel-penahan (Cable-stayed R bridge)

Jembatan kabel-penahan adalah agak baru.ekaan jambatan ini menggunakan beberapa kabel yang berasingan yang menghubungkan jalan dengan menara. Kabel2 pepenjuru ini diikat dengan tegang dan lurus (tidak melentur kecuali disebabkan oleh berat sendiri) ke beberapa tempat yang berlainan di sepanjang jalan. Kabel2 itu boleh diikat di tengah-tengah jalan (satu jaringan) atau di tepi jalan (dua jaringan). Biasanya dua menara digunakan, dan kabel-kabel disusun dalam bentuk kipas.
Kelebihan jembatan ini dibanding jembatan gantung adalah tambatan yang kukuh di ujung jembatan untuk menahan tarikan kabel tidak diperlukan. Ini disebabkan oleh geladak jambatan itu senantiasa berada di dalam keadaan tekanan. Ini menjadikan jambatan ini sebagai jambatan pilihan di tempat2 yang keadaan tanahnya kurang baik, asalkan menara-menaranya boleh dipasak dengan baik.
Antara contoh jambatan kabel penahan yang terkenal di Malaysia termasuklah Jambatan Pulau Pinang, Jembatan Kedua Muar dan Jambatan Sungai Johor (yang bakal dibuka pada tahun 2010).

Jembatan penyangga (Cantilever bridge)

Jembatan penyangga biasanya digunakan untuk mengatasi masalah pembuatan apabila keadaan tidak praktikal untuk menahan beban jembatan dari bawah semasa pembuatan. Disebabkan ia agak keras/tidak mudah bergoyang, ia sesuai digunakan untuk membawa landasan kereta api. Walaupun dari segi seni bina penyangga selalunya mempunyai cuma satu bagian, untuk jembatan biasanya dua bahagian (sepasang) yang serupa dibuat.
Satu kelebihan jambatan ini ialah ia boleh dibina dengan cuma bekerja menggunakan caisson sementara – ini dilakukan dengan membuat kedua-dua bagian sekaligus untuk memastikan keseimbangan jembatan itu. Kebanyakan jembatan penyangga menggunakan sepasang struktur yang serupa, setiap satu dengan satu menara dan dua penyangga yang terjulur keluar. Kemudian, apabila siap, jembatan itu biasanya akan ditambat di ujungnya, untuk mengelakkan penyangga tadi terjungkit, dan menghasilkan celah yang lebar di antara kedua-dua penyangga tadi. Setelah itu, satu jalan yang telah siap dibina awal-awal diangkat dan diletakkan di tengah-tengah jambatan itu menggunakan kabel untuk meyambung kedua-dua bagian. Jika tidak, bagian tengah jalan itu bisa dibuat ketika itu juga daripada bagian-bagiannya.
Prinsip penyangga ini biasa digunakan dalam pembuatan jembatan gerbang tertekan. Dalam kebanyakan pembuatan jembatan jarak jauh moden, menara dan kabel sementara digunakan untuk menahan bagian-bagian gerbang yang dibuat secara bertingkat. Cara ini agak sama dengan cara pembuatan jembatan kabel-penahan. Penggunaan menara sementara ini mengurangi jumlah bahan yang diperlukan dan memudahkan perancangan.

Jembatan angkat (bascule bridge)

Jembatan angkat di Gunung Sahari (awal abad ke-20)

Jembatan bisa pindah

Jembatan gerak (movable bridge) membolehkan benda-benda yang tinggi seperti layar kapal melaluinya, ataupun ia boleh digunakan untuk merentasi jarak yang tinggi atau jaraknya boleh berubah. Jembatan ini biasanya boleh diputarkan ke atas (drawbridge) atau ke tepi (swing bridge). Bagi setengah jembatan pula, bagian tengahnya boleh diangkat menegak ke atas (lift bridge). Ada juga jembatan yang digelar jembatan pengangkut (transporter bridge), ia cuma digunakan di tempat-tempat yang tidak banyak kendaraan.
Untuk jembatan-jembatan yang kecil, pergerakan ini mungkin boleh dilakukan tanpa menggunakan dinamo. Setengah jembatan boleh dikawal oleh pengguna, terutamanya yang mempunyai bot, sesetengah yang lain dikawal oleh pengawal jambatan, kadang-kadang dari jauh dengan menggunakan kamera video dan pembesar suara. Selalunya terdapat lampu isyarat untuk pengguna2 jalan dan air, dan tambahan pengadang jalan untuk para pemandu.
Jembatan gerak yang lebih kecil yang dipanggil jetway, juga digunakan di lapangan terbang, untuk memperbolehkan penumpang menaiki kapal terbang yang berbagai2 saiz dan jarak dari bangunan terminal.

Jembatan bambu

Jembatan bambu di atas Kali Serayu dekat Wonosobo, Jawa Tengah (tahun 1920-an)

Jembatan ternama

Lihat pula

Gambar jenis jembatan

Lihat pula

Pranala luar