BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Perkembangan
ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat cepat, perlu diimbangi
dengan kemampuan tenaga kerja yang prima, berkualitas tinggi dan mampu bersaing
dalam pasar global. Pendidikan dan pelatihan menjadi salah satu alternatif
dalam upaya menciptakan dan meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu,
kreatif, inovatif, dan mempunyai kemampuan menghadapi perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi.
Tenaga
kerja yang diperlukan harus memiliki bekal didunia pendidikan. Oleh karenanya,
sudah sejak lama kurikulum di setiap perguruan tinggi mensyaratkan adanya mata
kuliah yang mewajibkan setiap mahasiswa mengambilnya, yaitu mata kuliah Mekanika
Tanah II.
Bila kita perhatikan dan pahami, maka dapat dilihat
antara dunia pendidikan dan dunia kerja ada saling keterkaitan dan
ketergantungan, dan diharapkan nantinya hal ini akan terwujud dalam bentuk
jalinan kerja sama yang saling menguntungkan satu dengan yang lainnya.
Bagi mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Mekanika
Tanah II ini pun, diharapkan nantinya tahu dan mengerti bagaimana sebenarnya
aplikasi ilmu yang ditempuhnya selama di perguruan tinggi dan mampu
mempersiapkan diri dengan baik dalam segala hal sebelum memasuki dunia kerja
nanti.
Mekanika Tanah II merupakan mata kuliah semester III
pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas PGRI Palembang.
Pada tugas Mekanika Tanah II ini, penulis tertarik untuk mempelajari tentang
stabilitas talud yang telah diajarkan, mulai dari mencari angka keamanan,
gambar bidang longsor dan perhitungannya, serta sampai pada perhitungan jumlah
dan tipe angkur yang digunakan pada sebuah talud/lereng.
1.2 Tujuan
Tujuan mahasiswa
membuat Tugas Mekanika Tanah II, antara lain:
1.
Sebagai
salah satu syarat mahasiswa S1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas PGRI
Palembang dalam menyelesaikan studinya.
2.
Untuk
mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan tentang Mekanika Tanah II, khususnya
stabilitas talud yang telah didapat selama perkuliahan.
3.
Untuk
mengetahui dan mempelajari langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam
setiap tahapan perhitungan stabilitas talud/ lereng.
4.
Mahasiswa
dapat menghitung factor keamanan lereng (SF, Safety Factor) dan dapat
menyampaikan alternatif pencegahan dan pengendaliannya.
BAB II
LANDASAN TEORI
a) Pengertian
Longsoran dan Talud/Lereng
Pengertian
longsoran (landslide)
dengan gerakan tanah (mass movement)
mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan keduanya.
Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak, mendatar
atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah
mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini longsoran adalah bagian
gerakan tanah (Purbohadiwidjojo,
dalam Pangular,
1985). Jika menurut definisi ini perpindahan
massa tanah/batu pada arah tegak adalah termasuk gerakan tanah, maka gerakan
vertikal yang mengakibatkan bulging (lendutan) akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam
jenis gerakan tanah.
Kelompok utama gerakan
tanah (mass movement) menurut Hutchinsons (1968, dalam Hansen, 1984) terdiri atas rayapan (creep)
dan longsoran (landslide) yang dibagi lagi
menjadi sub-kelompok gelinciran (slide), aliran (flows), jatuhan (fall) dan luncuran (slip). Definisi longsoran (landslide) menurut Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran (sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau
campuran keduanya (lihat Tabel 1, halaman 3).
b) Prinsip
Dasar Kestabilan Talud/Lereng
Klasifikasi para peneliti
di atas pada umumnya berdasarkan kepada jenis gerakan dan materialnya.
Klasifikasi yang diberikan oleh HWRBLC, Highway Research Board
Landslide Committee (1978), mengacu kepada Varnes
(1978) seperti diberikan pada Tabel 3 (halaman selanjutnya) yang berdasarkan
kepada:
a)
Material yang nampak,
b)
Kecepatan perpindahan material yang bergerak,
c)
Susunan massa yang berpindah,
d)
Jenis material dan gerakannya.
c) Analisis
Stabilitas Talud/Lereng
Lereng dapat dianalisis
melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng dengan
melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis
tanah) dan bentuk geometri lereng (Pangular,
1985). Secara khusus, analisis dapat
dipertajam
dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan memperhatikan
kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim, vegetasi,
morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat. Kondisi lingkungan tersebut
merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dan merupakan
karakter perbukitan rawan longsor (Anwar
& Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1993,
1994).
Pendekatan masalah
tanah longsor dapat melibatkan kajian dampak akibat faktor-faktor di atas,
penanganannya dapat didekati dengan pengelolaan lingkungan. Arahan pengelolaan lingkungan dilakukan
sebagai antisipasi untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak lingkungan
negatif (Fandeli, 1992), yaitu dengan cara memperkecil dampak
negatif dan memperbesar dampak positif (Soemarwoto, 1990), atau dengan kata lain meminimalkan factor-faktor
kendala kestabilan lereng dan memaksimalkan faktor-faktor pendukung lereng
stabil. Dampak lingkungan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun tidak
langsung (Snyder & Catanese, 1989). Analisis dampak dapat dilakukan dengan
melihat kondisi fisik sekitar komponen terkena dampak.
d) Stabilitas
Talud Menerus Tanpa Rembesan
Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan)
yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan,
atau
muka airtanah.
Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik
tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang
berarti
memperkecil ketahanan geser dari massa lereng. Tapi pada lereng tanpa rembesan
merupakan kondisi yang tidak memiliki kenaikan muka air tanah sementara kondisi
fisik tanah tersebut kering/ tidak adanya tekanan air pori yang besar.
e) Stabilitas
Talud Menerus Dengan Rembesan
Stabilitas Talud
Menerus Dengan Rembesan akibat kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya
menjadi masalah bagikestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh
luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan)
yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan,
atau
muka airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik
tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang
berarti
memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material
tanah
(soil). Kenaikan muka air tanah juga
memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di
bawah permukaan (piping atau
subaqueous erosion).
Akibatnya
lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa
tanah yang dihanyutkan, ketahanan massa tanah
akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan,
1993).
f) Talud
Dengan Tinggi Terbatas-Umum
Penambahan beban di tubuh lereng
bagian atas (Pembuatan/ peletakan bangunan, misalnya
dengan membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau dipuncak bukit)
merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan
lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa
perencanaan dapat menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal,
tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara
pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1.
Cara
pengamatan visual adalah cara dengan
mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang
bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan
lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang
teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada
resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan
indikasi gerakan tanah dalam suatu peta
lereng.
2.
Cara
komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan
lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng
dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles
(1989), pada dasarnya kunci utama gerakan
tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
a.
Tak
terdrainase,
b.
Efektif
untuk beberapa kasus pembebanan,
c.
Meningkat
sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman,
d.
Berkurang
dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau terbentuknya
tekanan pori tanah yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah.
3.
Cara
grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren).
Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas
berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi).
Stereonet, misalnya diagram jaring
Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan
dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip
lapisan
batuan.
f.1) Analisis Dengan Bidang Longsor Rata
Lereng dapat dianalisis
melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng dengan
melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis
tanah) dan bentuk geometri lereng (Pangular, 1985).
Secara khusus, analisis dapat dipertajam dengan
melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan memperhatikan
kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim, vegetasi,
morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat.
f.2) Analisis Dengan Bidang Longsor Silindris
Lereng dapat dianalisis
melalui Cara pengamatan visual adalah cara
dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang
bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan
lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang
teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada
resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan
indikasi gerakan tanah dalam suatu peta
lereng.
g) Kasus
Lapangan Tentang Keruntuhan Talud/Lereng
Beban
tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan peranan aktifitas
manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika
belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa ditepi-tepi lereng
atau dipuncak-puncak bukit merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan
longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya
keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di
puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun. Pengurangan beban didaerah
kaki lereng berdampak menurunkan Faktor
Keamanan.
Makin
besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar pula penurunan Faktor
Keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor.
Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan beban di kaki
lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan,
jalan dan lainlain, atau erosi (Hirnawan,1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh
kondisi ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:
1.
Longsor
di tempat penggalian trass di tepi
jalan raya Lembang akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat
tebing yang hampir tegak lurus;
2.
Longsor
sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan perumahan (real estate);
3.
Longsoran
di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon)
juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.
g) Proses
Karakteristik Longsoran
Proses
terjadinya longsor karena beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan peranan aktifitas
manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika
belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real
estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit
merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut menyebabkan
berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan
beban di puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun.
Berdasarkan
definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes,
1978; Tabel 3), maka disimpulkan bahwa
gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan
perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau perpindahan massa tanah
maupun batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula.
Longsoran (landslide) merupakan bagian dari gerakan
tanah, jenisnya terdiri atas jatuhan
(fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan (slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral spread), rayapan (creep) dan longsoran majemuk.
h) Klasifikasi
Longsoran
Untuk
membedakan longsoran, landslide, yang
mengandung pengertian luas, maka istilah slides digunakan kepada longsoran
gelinciran yang terdiri atas luncuran atau slide (longsoran
gelinciran translasional)
dan nendatan atau slump (longsoran gelinciran
rotasional).
Berbagai
jenis longsoran (landslide) dalam beberapa
klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:
·
Jatuhan (Fall ) adalah jatuhan atau massa batuan
bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan
penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu
dengan yang lain. Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan (urug,
lawina,
avalanche) batu, bahan rombakan
maupun tanah.
·
Longsoran-longsoran
gelinciran
(slides) adalah gerakan yang
disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati
ataupun diduga. Slide dibagi
lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak
translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah. Bila longsoran
gelinciran dengan susunan materialnya tidak banyak berubah dan umumnya
dipengaruhi gerak rotasional, maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran
gelinciran adalah: luncuran bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan
tanah.
·
Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi
oleh jumlah kandungan atau kadar airtanah, terjadi pada material tak
terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak umumnya tidak
dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sandrun
(larian pasir), aliran fragmen batu,
aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau,
aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan
rombakan.
·
Longsoran majemuk (complex
landslide) adalah gabungan dari dua atau
tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam,
tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih dominan (Menurut Pastuto & Soldati, 1997), longsoran majemuk diantaranya adalah
bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
·
Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat
dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya yang secara alami
biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969;
Hansen, 1984).
Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu
diketahui (Tabel 4). Rayapan (creep) dibedakan menjadi
tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim,
rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat
geser dari material, dan rayapan melaju yang berhubungan dengan
keruntuhan lereng atau perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984).
·
Gerak
horisontal / bentangan lateral (lateral
spread),
merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material
batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan
batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori complex landslide - longsoran
majemuk (Pastuto & Soldati, 1997).
Prosesnya berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall, 1978,
dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun bahan
rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran yang
berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara
lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang
mengalami luncuran akibat gempa (Buma
& Van Asch, 1997).
i)
Faktor-Faktor Penyebab
Longsoran
Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor
meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar
lereng), antara lain: kegempaan,
iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi
setempat (Anwar dan
Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang
masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar,
1991). Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden (1993,
dalam Dikau et.al., 1996) diantaranya adalah :
·
Pelapukan
(fisika, kimia dan biologi),
· erosi,
· penurunan tanah (ground subsidence),
· deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah),
· getaran dan aktivitas
seismik,
· jatuhan tepra
· perubahan rejim air.
Pelapukan dan erosi
sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh kehadiran hujan di daerah
setempat, curah hujan kadar air (water
content; %) dan kejenuhan air (saturation; Sr, %).
Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan
meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material
tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar airakan memperlemah sifat fisik-mekanik
tanah dan menurunkan Faktor Kemanan
lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles,
1989; Hirnawan & Zakaria, 1991).
Letak
atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993),
hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu.
Penghanyutan yang semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya
memegang peranan penting.
j)
Mitigasi Bencana
Longsoran
Penyebab
lain dari kejadian longsor adalah
gangguan-gangguan internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri
terutama karena ikutsertanya peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak
lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah
air yang meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat
kejenuhan, atau muka airtanah. Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik
dan mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil
ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah
permukaan (piping atau
subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya lebih
banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah
yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984,
dalam Hirnawan, 1993).
Kejadian
di Sodonghilir dan Taraju (1992);
Bukit Lantiak, Padang dan
Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di
beberapa tempat lainnya umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik
tanah karena kehadiran air dalam tubuh lereng (Tabel 5).
Tidak ada komentar:
Posting Komentar