Kamis, 23 Februari 2012

Mektan 2


BAB I
PENDAHULUAN

1.1       Latar Belakang
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang berjalan sangat cepat, perlu diimbangi dengan kemampuan tenaga kerja yang prima, berkualitas tinggi dan mampu bersaing dalam pasar global. Pendidikan dan pelatihan menjadi salah satu alternatif dalam upaya menciptakan dan meningkatkan sumber daya manusia yang bermutu, kreatif, inovatif, dan mempunyai kemampuan menghadapi perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi.
Tenaga kerja yang diperlukan harus memiliki bekal didunia pendidikan. Oleh karenanya, sudah sejak lama kurikulum di setiap perguruan tinggi mensyaratkan adanya mata kuliah yang mewajibkan setiap mahasiswa mengambilnya, yaitu mata kuliah Mekanika Tanah II.
Bila kita perhatikan dan pahami, maka dapat dilihat antara dunia pendidikan dan dunia kerja ada saling keterkaitan dan ketergantungan, dan diharapkan nantinya hal ini akan terwujud dalam bentuk jalinan kerja sama yang saling menguntungkan satu dengan yang lainnya.
Bagi mahasiswa yang mengikuti perkuliahan Mekanika Tanah II ini pun, diharapkan nantinya tahu dan mengerti bagaimana sebenarnya aplikasi ilmu yang ditempuhnya selama di perguruan tinggi dan mampu mempersiapkan diri dengan baik dalam segala hal sebelum memasuki dunia kerja nanti.
Mekanika Tanah II merupakan mata kuliah semester III pada Program Studi Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas PGRI Palembang. Pada tugas Mekanika Tanah II ini, penulis tertarik untuk mempelajari tentang stabilitas talud yang telah diajarkan, mulai dari mencari angka keamanan, gambar bidang longsor dan perhitungannya, serta sampai pada perhitungan jumlah dan tipe angkur yang digunakan pada sebuah talud/lereng.
1.2       Tujuan
            Tujuan mahasiswa membuat Tugas Mekanika Tanah II, antara lain:
1.      Sebagai salah satu syarat mahasiswa S1 Teknik Sipil Fakultas Teknik Universitas PGRI Palembang dalam menyelesaikan studinya.
2.      Untuk mengaplikasikan ilmu dan pengetahuan tentang Mekanika Tanah II, khususnya stabilitas talud yang telah didapat selama perkuliahan.
3.      Untuk mengetahui dan mempelajari langkah-langkah apa yang harus dilakukan dalam setiap tahapan perhitungan stabilitas talud/ lereng.
4.      Mahasiswa dapat menghitung factor keamanan lereng (SF, Safety Factor) dan dapat menyampaikan alternatif pencegahan dan pengendaliannya.

BAB II
LANDASAN TEORI
a)      Pengertian Longsoran dan Talud/Lereng
Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass movement) mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu penjelasan keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini longsoran adalah bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular, 1985). Jika menurut definisi ini perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak adalah termasuk gerakan tanah, maka gerakan vertikal yang mengakibatkan bulging (lendutan) akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis gerakan tanah.
Kelompok utama gerakan tanah (mass movement) menurut Hutchinsons (1968, dalam Hansen, 1984) terdiri atas rayapan (creep) dan longsoran (landslide) yang dibagi lagi menjadi sub-kelompok gelinciran (slide), aliran (flows), jatuhan (fall) dan luncuran (slip). Definisi longsoran (landslide) menurut Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran (sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya (lihat Tabel 1, halaman 3).


b)      Prinsip Dasar Kestabilan Talud/Lereng
Klasifikasi para peneliti di atas pada umumnya berdasarkan kepada jenis gerakan dan materialnya. Klasifikasi yang diberikan oleh HWRBLC, Highway Research Board Landslide Committee (1978), mengacu kepada Varnes (1978) seperti diberikan pada Tabel 3 (halaman selanjutnya) yang berdasarkan kepada:
a) Material yang nampak,
b) Kecepatan perpindahan material yang bergerak,
c) Susunan massa yang berpindah,
d) Jenis material dan gerakannya.
c)      Analisis Stabilitas Talud/Lereng
Lereng dapat dianalisis melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis tanah) dan bentuk geometri lereng (Pangular, 1985). Secara khusus, analisis dapat dipertajam dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim, vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat. Kondisi lingkungan tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dan merupakan karakter perbukitan rawan longsor (Anwar & Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1993, 1994).

Pendekatan masalah tanah longsor dapat melibatkan kajian dampak akibat faktor-faktor di atas, penanganannya dapat didekati dengan pengelolaan lingkungan. Arahan pengelolaan lingkungan dilakukan sebagai antisipasi untuk menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak lingkungan negatif (Fandeli, 1992), yaitu dengan cara memperkecil dampak negatif dan memperbesar dampak positif (Soemarwoto, 1990), atau dengan kata lain meminimalkan factor-faktor kendala kestabilan lereng dan memaksimalkan faktor-faktor pendukung lereng stabil. Dampak lingkungan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun tidak langsung (Snyder & Catanese, 1989). Analisis dampak dapat dilakukan dengan melihat kondisi fisik sekitar komponen terkena dampak.

d)      Stabilitas Talud Menerus Tanpa Rembesan
Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng. Tapi pada lereng tanpa rembesan merupakan kondisi yang tidak memiliki kenaikan muka air tanah sementara kondisi fisik tanah tersebut kering/ tidak adanya tekanan air pori yang besar.

e)      Stabilitas Talud Menerus Dengan Rembesan
Stabilitas Talud Menerus Dengan Rembesan akibat kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagikestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili oleh curah hujan) yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material tanah (soil). Kenaikan muka air tanah juga memperbesar debit air tanah dan meningkatkan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion). Akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).

f)       Talud Dengan Tinggi Terbatas-Umum
Penambahan beban di tubuh lereng bagian atas (Pembuatan/ peletakan bangunan, misalnya dengan membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau dipuncak bukit) merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian juga pemotongan lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa perencanaan dapat menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng. Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1.    Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.

2.    Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus (Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
a.    Tak terdrainase,
b.    Efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
c.    Meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau dengan kedalaman,
d.    Berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu) atau terbentuknya tekanan pori tanah yang berlebih atau terjadi peningkatan air tanah.

3.    Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor, Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen (terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus (cara komputasi). Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan. 

f.1)       Analisis Dengan Bidang Longsor Rata

Lereng dapat dianalisis melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis tanah) dan bentuk geometri lereng (Pangular, 1985). Secara khusus, analisis dapat dipertajam dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan memperhatikan kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim, vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat.

f.2)       Analisis Dengan Bidang Longsor Silindris
Lereng dapat dianalisis melalui Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan (Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah dalam suatu peta lereng.



g)      Kasus Lapangan Tentang Keruntuhan Talud/Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan peranan aktifitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa ditepi-tepi lereng atau dipuncak-puncak bukit merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun. Pengurangan beban didaerah kaki lereng berdampak menurunkan Faktor Keamanan.
Makin besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar pula penurunan Faktor Keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau makin rawan longsor. Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini. Pengurangan beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan lainlain, atau erosi (Hirnawan,1993).

Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban pada lereng antara lain:

1.    Longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang akibat penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat tebing yang hampir tegak lurus;
2.    Longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan perumahan (real estate);
3.    Longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon) juga diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.

g)      Proses Karakteristik Longsoran
Proses terjadinya longsor karena beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan peranan aktifitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng. Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng akan menurun.
Berdasarkan definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes, 1978; Tabel 3), maka disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau perpindahan massa tanah maupun batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula.



Longsoran (landslide) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan (slump), aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral spread), rayapan (creep) dan longsoran majemuk.


h)     Klasifikasi Longsoran
Untuk membedakan longsoran, landslide, yang mengandung pengertian luas, maka istilah slides digunakan kepada longsoran gelinciran yang terdiri atas luncuran atau slide (longsoran gelinciran translasional) dan nendatan atau slump (longsoran gelinciran rotasional). Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam beberapa klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut:

·         Jatuhan (Fall ) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara, termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain. Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan (urug, lawina, avalanche) batu, bahan rombakan maupun tanah.
·          Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati ataupun diduga. Slide dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran (slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan materialnya yang banyak berubah. Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka disebut nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.
·         Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau kadar airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis gerakan aliran kering adalah sandrun (larian pasir), aliran fragmen batu, aliran loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.
·         Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau tiga jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam, tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih dominan (Menurut Pastuto & Soldati, 1997), longsoran majemuk diantaranya adalah bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
·         Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969; Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka kecepatan gerakan tanah perlu diketahui (Tabel 4). Rayapan (creep) dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim, rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984).
·         Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan, nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori complex landslide - longsoran majemuk (Pastuto & Soldati, 1997). Prosesnya berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall, 1978, dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau aliran yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material yang terlibat antara lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang mengalami luncuran akibat gempa (Buma & Van Asch, 1997).

i)        Faktor-Faktor Penyebab Longsoran
Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor internal (dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), antara lain: kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991). Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden (1993, dalam Dikau et.al., 1996) diantaranya adalah :
· Pelapukan (fisika, kimia dan biologi),
· erosi,
· penurunan tanah (ground subsidence),
· deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah),
· getaran dan aktivitas seismik,
· jatuhan tepra
· perubahan rejim air.

Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air (water content; %) dan kejenuhan air (saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor, hujan sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar airakan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zakaria, 1991).
Letak atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan penting.

j)        Mitigasi Bencana Longsoran
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikutsertanya peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah. Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari massa lereng (lihat rumus Faktor Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992); Bukit Lantiak, Padang dan
Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena kehadiran air dalam tubuh lereng (Tabel 5).

Tidak ada komentar:

Posting Komentar