Selasa, 27 September 2011

ANALISIS KESTABILAN LERENG TANAH

 ANALISIS KESTABILAN
LERENG TANAH
Zufialdi Zakaria, Ir., MT.


Staff Laboratorium Geologi Teknik, FMIPA-UNPAD

1. Pendahuluan
1.1. Tujuan Instruksional Khusus :
· Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa mampu : 1) menyebutkan
berbagai jenis gerakan tanah, 2) menjelaskan faktor-faktor penyebab
maupun pemicu gerakan tanah (longsoran), 3) mengetahui
kemungkinan akibat-akibat (dampak) yang ditimbulkan oleh gerakan
tanah.
· Setelah mengikuti kuliah ini, mahasiswa dapat menghitung faktor
keamanan lereng (SF, Safety Factor) dan dapat menyampaikan
alternatif pencegahan dan pengendaliannya.

1.2. Sumber :
· Definisi gerakan tanah dan/atau longsoran dan jenis-jenis longsoran
· Faktor-faktor yang mempengaruhi ketidakstabilan lereng (internal dan
eksternal)
· Perhitungan nilai keamanan lereng dengan analisis sifat
fisik/mekanik tanah atau mekanika tanah.
· Berbagai alternatif pencegahan dan pengendalian secara umum.

1.3. Bahan :
· Bowles, JE.,1989, Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga,
Jakarta, 562 hal.
· Dikau, R. (editor) et.al., 1997, Landslide Recognition, John Willey &
Sons, 251 p.
· Hunt, R.E., 1984, Geotechnical engineering investigation manual,
McGrawHill Book Company, 984 p.
· Strahler, A.N., & Strahler, A.H., 1983, Modern physical geography,
John Willey & Sons, 532 p.
· Verruijt, 1982, Stabil2.3, Computer Program, Delft University.
· Zaruba, Q., & Mencl., V., 1969, Landslide and their control,, Elsevier
Pub. Co., Amstredam, 205 p.
· Buku dan Jurnal lainnya (lihat Daftar Pustaka).
1.4. Latihan :
· Hubungan antara gerakan tanah dan geomorfologi, interpretasi
daerah gerakan tanah (longsoran besar) melalui analisis peta
geomorfologi.
· Perhitungan Faktor Keamanan Lereng dan penanggulangan /
pencegahan longsor.
· Analisis kestabilan lereng..

2. Definisi dan Klasifikasi Gerakan Tanah
Pengertian longsoran (landslide) dengan gerakan tanah (mass
movement) mempunyai kesamaan. Untuk memberikan definisi longsoran perlu
penjelasan keduanya. Gerakan tanah ialah perpindahan massa tanah/batu pada
arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula. Gerakan tanah
mencakup gerak rayapan dan aliran maupun longsoran. Menurut definisi ini
longsoran adalah bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo, dalam Pangular,
1985). Jika menurut definisi ini perpindahan massa tanah/batu pada arah tegak
adalah termasuk gerakan tanah, maka gerakan vertikal yang mengakibatkan
bulging (lendutan) akibat keruntuhan fondasi dapat dimasukkan pula dalam jenis
gerakan tanah. Dengan demikian pengertiannya menjadi sangat luas.
Kelompok utama gerakan tanah (mass movement) menurut
Hutchinsons (1968, dalam Hansen, 1984) terdiri atas rayapan (creep) dan
longsoran (landslide) yang dibagi lagi menjadi sub-kelompok gelinciran (slide),
aliran (flows), jatuhan (fall) dan luncuran (slip). Definisi longsoran (landslide)
menurut Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984), adalah luncuran atau gelinciran
(sliding) atau jatuhan (falling) dari massa batuan/tanah atau campuran keduanya
(lihat Tabel 1, halaman 3).
Secara sederhana, Coates (1977, dalam Hansen, 1984, lihat Tabel 2)
membagi longsoran menjadi luncuran atau gelinciran (slide), aliran (flow) dan
jatuhan (fall). Menurut Varnes (1978, dalam Hansen, 1984) longsoran
(landslide) dapat diklasifikasikannya menjadi: jatuhan (fall), jungkiran (topple),
luncuran (slide) dan nendatan (slump), aliran (flow), gerak bentang lateral (lateral
spread), dan gerakan majemuk (complex movement). Untuk lebih jelasnya
klasifikasi tersebut disampaikan pada Tabel 2 (halaman 4).

Tabel 1. Klasifikasi longsoran oleh Stewart Sharpe (1938, dalam Hansen, 1984)
Tabel klasifikasi longsoran menurut Stewart Sharpe

Klasifikasi para peneliti di atas pada umumnya berdasarkan kepada
jenis gerakan dan materialnya. Klasifikasi yang diberikan oleh HWRBLC,
Highway Research Board Landslide Committee (1978), mengacu kepada Varnes
(1978) seperti diberikan pada Tabel 3 (halaman selanjutnya) yang berdasarkan
kepada:
a) material yang nampak,
b) kecepatan perpindahan material yang bergerak,
c) susunan massa yang berpindah,
d) jenis material dan gerakannya.

Tabel 2. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Coates (dalam Hansen, 1984)
Tabel klasifikasi  longsoran menurut Varnes

Berdasarkan definisi dan klasifikasi longsoran (Varnes, 1978; Tabel 3),
maka disimpulkan bahwa gerakan tanah (mass movement) adalah gerakan
perpindahan atau gerakan lereng dari bagian atas atau perpindahan massa
tanah maupun batu pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan
semula.
Longsoran (landslide) merupakan bagian dari gerakan tanah, jenisnya
terdiri atas jatuhan (fall), jungkiran (topple), luncuran (slide), nendatan (slump),
aliran (flow), gerak horisontal atau bentangan lateral (lateral spread), rayapan
(creep) dan longsoran majemuk

Tabel 3. Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978, dalam M.J.
Hansen, 1984) yang digunakan oleh Higway Reseach Board
Landslide Comitte (1978, dalam Sudarsono & Pangular, 1986)
Klasifikasi longsoran (landslide) oleh Varnes (1978, dalam M.J.
Hansen, 1984) yang digunakan oleh Higway Reseach Board
Landslide Comitte (1978, dalam Sudarsono & Pangular, 1986)

Untuk membedakan longsoran, landslide, yang mengandung pengertian
luas, maka istilah slides digunakan kepada longsoran gelinciran yang terdiri atas
luncuran atau slide (longsoran gelinciran translasional) dan nendatan atau slump
(longsoran gelinciran rotasional). Berbagai jenis longsoran (landslide) dalam
beberapa klasifikasi di atas dapat dijelaskan sebagai berikut :

· Jatuhan (Fall) adalah jatuhan atau massa batuan bergerak melalui udara,
termasuk gerak jatuh bebas, meloncat dan penggelindingan bongkah batu
dan bahan rombakan tanpa banyak bersinggungan satu dengan yang lain.
Termasuk jenis gerakan ini adalah runtuhan (urug, lawina, avalanche) batu,
bahan rombakan maupun tanah.
· Longsoran-longsoran gelinciran (slides) adalah gerakan yang disebabkan
oleh keruntuhan melalui satu atau beberapa bidang yang dapat diamati
ataupun diduga. Slides dibagi lagi menjadi dua jenis. Disebut luncuran
(slide) bila dipengaruhi gerak translasional dan susunan materialnya yang
banyak berubah.. Bila longsoran gelinciran dengan susunan materialnya tidak
banyak berubah dan umumnya dipengaruhi gerak rotasional, maka disebut
nendatan (slump), Termasuk longsoran gelinciran adalah: luncuran bongkah
tanah maupun bahan rombakan, dan nendatan tanah.
· Aliran (flow) adalah gerakan yang dipengaruhi oleh jumlah kandungan atau
kadar airtanah, terjadi pada material tak terkonsolidasi. Bidang longsor antara
material yang bergerak umumnya tidak dapat dikenali. Termasuk dalam jenis
gerakan aliran kering adalah sandrun (larianpasir), aliran fragmen batu, aliran
loess. Sedangkan jenis gerakan aliran basah adalah aliran pasir-lanau, aliran
tanah cepat, aliran tanah lambat, aliran lumpur, dan aliran bahan rombakan.
· Longsoran majemuk (complex landslide) adalah gabungan dari dua atau tiga
jenis gerakan di atas. Pada umumnya longsoran majemuk terjadi di alam,
tetapi biasanya ada salah satu jenis gerakan yang menonjol atau lebih
dominan. Menurut Pastuto & Soldati (1997), longsoran majemuk diantaranya
adalah bentangan lateral batuan, tanah maupun bahan rombakan.
· Rayapan (creep) adalah gerakan yang dapat dibedakan dalam hal kecepatan
gerakannya yang secara alami biasanya lambat (Zaruba & Mencl, 1969;
Hansen, 1984). Untuk membedakan longsoran dan rayapan, maka
kecepatan gerakan tanah perlu diketahui (Tabel 4). Rayapan (creep)
dibedakan menjadi tiga jenis, yaitu: rayapan musiman yang dipengaruhi iklim,
rayapan bersinambungan yang dipengaruhi kuat geser dari material, dan
rayapan melaju yang berhubungan dengan keruntuhan lereng atau
perpindahan massa lainnya (Hansen, 1984) .

Tabel 4. Laju kecepatan gerakan tanah (Hansen, 1984)
Laju kecepatan gerakan tanah

· Gerak horisontal / bentangan lateral (lateral spread), merupakan jenis
longsoran yang dipengaruhi oleh pergerakan bentangan material batuan
secara horisontal. Biasanya berasosiasi dengan jungkiran, jatuhan batuan,
nendatan dan luncuran lumpur sehingga biasa dimasukkan dalam kategori
complex landslide - longsoran majemuk (Pastuto & Soldati, 1997). Prosesnya
berupa rayapan bongkah-bongkah di atas batuan lunak (Radbruch-Hall,
1978, dalam Pastuto & Soldati, 1997). Pada bentangan lateral tanah maupun
bahan rombakan, biasanya berasosiasi dengan nendatan, luncuran atau
aliran yang berkembang selama maupun setelah longsor terjadi. Material
yang terlibat antara lain lempung (jenis quick clay) atau pasir yang
mengalami luncuran akibat gempa (Buma & Van Asch, 1997).
· Pada longsoran tipe translasional maupun rotasional, ada batas antara
massa yang bergerak dan yang diam (disebut bidang gelincir), kedalaman
batas tersebut dari permukaan tanah sangat penting bagi deskripsi
longsoran. Terdapat 4 (empat) kelas kedalaman bidang gelincir (Fernandez
& Marzuki,1987), yaitu:
a) Sangat dangkal (<1,5 meter);
b) Dangkal (1,5 s.d. 5 meter);
c) Dalam (antara 5 sampai 20 meter);
d) Sangat dalam (>20 meter).
Umur gerakan dan derajat aktivitas longsoran merupakan kondisi yang
cukup penting diketahui. Longsoran aktif selalu bergerak sepanjang waktu atau
sepanjang musim, sedangkan longsoran lama dapat kembali aktif sepanjang
adanya faktor-faktor pemicu longsoran. Zaruba & Mencl (1969) mempelajari
longsoran-longsoran yang berumur Plistosen dan menggunakan istilah fosil
longsoran untuk longsoran yang sudah tidak aktif lagi.
Berdasarkan bentuk suatu longsoran, maka tatanama tubuh longsoran
dapat diberikan dengan melihatnya dari bagian atas lereng atau di mahkota.
Tatanama tersebut secara sederhana dapat diuraikan (Gambar 1) berdasarkan
HWRBLC, (1978; dalam Pangular, 1985) yang mengacu pada Varnes (1978):

a. Gawir besar: Lereng terjal pada bagian yang mantap di sekeliling bagian yang
longsor, biasanya terlihat dengan jelas.
b. Gawir kecil : Lereng terjal pada bagian yang bergerak karena ada perbedaan
gerakan dalam massa gerakan tanah.
c. Kepala : Bagian sepanjang batas atas antara material yang bergerak dengan
gawir besar.
d. Puncak : Titik tinggi pada bidang kontak antara material yang bergerak dengan
gawir besar.
e. Kaki : Garis perpotongan antara bagian terbawah bidang longsor dengan
muka tanah asli.
f. Ujung Kaki : Batas terjauh material yang bergerak dari gawir besar.
g. Tip : Titik pada ujung kaki yang berjarak paling jauh dari pucak.
h. Sayap : Bagian samping dari suatu tubuh gerakan tanah. Pemerian nama sayap
kiri dan kanan dilihat dari mahkota.
i. Mahkota : Material yang terletak di bagian tertinggi gawir utama.
j. Muka tanah : Muka tanah asli, yaitu lereng yang tak terganggu oleh gerakan tanah

Gambar 1. Tubuh longsoran (HWRBLC, Highway Research Board
Landslide Comittee 1978; dalam Pangular, 1985)

Gerakantanah berupa longsor (landslide) merupakan bencana yang
sering membahayakan. Longsor seringkali terjadi akibat adanya pergerakan
tanah pada kondisi daerah lereng yang curam, serta tingkat kelembaban
(moisture) tinggi, tumbuhan jarang (lahan terbuka) dan material kurang kompak.
Faktor lain untuk timbulnya longsor adalah rembesan dan aktifitas geologi seperti
patahan, rekahan dan liniasi . Kondisi lingkungan setempat merupakan suatu
komponen yang saling terkait. Bentuk dan kemiringan lereng, kekuatan material,
kedudukan muka air tanah dan kondisi drainase setempat sangat berkaitan pula
dengan kondisi kestabilan lereng (Verhoef, 1985).
Lereng dapat dianalisis melalui perhitungan Faktor Keamanan Lereng
dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah (geoteknis tanah) dan
bentuk geometri lereng (Pangular, 1985). Secara khusus, analisis dapat
dipertajam dengan melibatkan aspek fisik lain secara regional, yaitu dengan
memperhatikan kondisi lingkungan fisiknya, baik berupa kegempaan, iklim,
vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun situasi setempat. Kondisi lingkungan
tersebut merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi gerakan tanah dan
merupakan karakter perbukitan rawan longsor (Anwar & Kesumadharma, 1991;
Hirnawan, 1993, 1994).
Pendekatan masalah tanah longsor dapat melibatkan kajian dampak
akibat faktor-faktor di atas, penanganannya dapat didekati dengan pengelolaan
lingkungan. Arahan pengelolaan lingkungan dilakukan sebagai antisipasi untuk
menanggulangi kemungkinan terjadinya dampak lingkungan negatif (Fandeli,
1992), yaitu dengan cara memperkecil dampak negatif dan memperbesar
dampak positif (Soemarwoto, 1990), atau dengan kata lain meminimalkan faktorfaktor
kendala kestabilan lereng dan memaksimalkan faktor-faktor pendukung
lereng stabil. Dampak lingkungan yang terjadi dapat bersifat langsung maupun
tidak langsung (Snyder & Catanese, 1989). Analisis dampak dapat dilakukan
dengan melihat kondisi fisik sekitar komponen terkena dampak.

Gambar 2. Beberapa tipe / jenis longsoran



Gambar 3. Beberapa tipe / jenis longsoran (2)


3. Faktor yang Mempengaruhi Ketidakstabilan Lereng
Faktor-faktor penyebab lereng rawan longsor meliputi faktor internal
(dari tubuh lereng sendiri) maupun faktor eksternal (dari luar lereng), antara lain:
kegempaan, iklim (curah hujan), vegetasi, morfologi, batuan/tanah maupun
situasi setempat (Anwar dan Kesumadharma, 1991; Hirnawan, 1994), tingkat
kelembaban tanah (moisture), adanya rembesan, dan aktifitas geologi seperti
patahan (terutama yang masih aktif), rekahan dan liniasi (Sukandar, 1991).
Proses eksternal penyebab longsor yang dikelompokkan oleh Brunsden (1993,
dalam Dikau et.al., 1996) diantaranya adalah :
· Pelapukan (fisika, kimia dan biologi),
· erosi,
· penurunan tanah (ground subsidence),
· deposisi (fluvial, glasial dan gerakan tanah),
· getaran dan aktivitas seismik,
· jatuhan tepra
· perubahan rejim air.
Pelapukan dan erosi sangat dipengaruhi oleh iklim yang diwakili oleh
kehadiran hujan di daerah setempat, curah hujan kadar air (water content; %)
dan kejenuhan air (saturation; Sr, %). Pada beberapa kasus longsor, hujan
sering sebagai pemicu karena hujan meningkatkan kadar air tanah yang menyebabkan
kondisi fisik/mekanik material tubuh lereng berubah. Kenaikan kadar air
akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah dan menurunkan Faktor Kemanan
lereng (Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zakaria, 1991).

Penambahan beban di tubuh lereng bagian atas (pembuatan/peletakan
bangunan, misalnya dengan membuat perumahan atau villa di tepi lereng atau di
puncak bukit) merupakan tindakan beresiko mengakibatkan longsor. Demikian
juga pemotongan lereng pada pekerjaan cut & fill, jika tanpa perencanaan dapat
menyebabkan perubahan keseimbangan tekanan pada lereng.
Letak atau posisi tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi
Faktor Keamanan Lereng (Hirnawan, 1993), hilangnya tumbuhan penutup
menyebabkan alur-alur pada beberapa daerah tertentu. Penghanyutan yang
semakin meningkat akhirnya mengakibatkan terjadinya longsor (Pangular,
1985). Dalam kondisi ini erosi tentunya memegang peranan penting.
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan-gangguan
internal, yaitu yang datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karena ikutsertanya
peranan air dalam tubuh lereng; Kondisi ini tak lepas dari pengaruh
luar, yaitu iklim yang diwakili oleh curah hujan. Jumlah air yang meningkat dicirikan
oleh peningkatan kadar airtanah, derajat kejenuhan, atau muka airtanah.
Kenaikan air tanah akan menurunkan sifat fisik dan mekanik tanah dan meningkatkan
tekanan pori (m) yang berarti memperkecil ketahananan geser dari massa
lereng (lihat rumus Faktor Keamanan). Debit air tanah juga membesar dan erosi
di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion) meningkat. Akibatnya
lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan, lebih jauh
ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).
Kejadian di Sodonghilir dan Taraju (1992); Bukit Lantiak, Padang dan
Sagalaherang, Ciamis (1999), dan kejadian di beberapa tempat lainnya
umumnya disebabkan penurunan sifat fisik dan mekanik tanah karena kehadiran
air dalam tubuh lereng (Tabel 5).

Tabel 5. Penyebab longsor di beberapa tempat
Daftar dari berbagai surat kabar

3.1. Gempa atau Getaran.
Banyak kejadian longsor terjadi akibat gempa bumi. Gempa bumi Tes di
Sumatera Selatan tahun 1952 dan di Wonosobo tahun 1924, juga di Assam 27
Maret 1964 menyebabkan timbulnya tanah longsor (Pangular, 1985). Demikian
juga di Jayawijaya, Irian Jaya tahun 1987 (Siagian, 1989, dalam Tadjudin, 1996)
dan di Sindangwanggu, Majalengka tahun 1990 (Soehaimi, et.al., 1990). Di jalur
keretaapi Jakarta-Yogyakarta dekat Purwokerto tahun 1947 (Pangular, 1985)
akibat getaran dan di Cadas Pangeran, Sumedang bulan April; 1995, selain
morfologi dan sifat fisik/mekanik material tanah lapukan breksi, getaran
kendaraan pun ikut ambil bagian dalam kejadian longsor. Gempa di India dan
Peru (2000) juga menyebabkan longsor.
3.2. Cuaca / Iklim
Curah hujan sebagai salah satu komponen iklim, akan mempengaruhi
kadar air (water content; w, %) dan kejenuhan air (Saturation; Sr, %). Pada
beberapa kasus longsor di Jawa Barat, air hujan seringkali menjadi pemicu
terjadinya longsor. Hujan dapat meningkatkan kadar air dalam tanah dan lebih
jauh akan menyebabkan kondisi fisik tubuh lereng berubah-ubah. Kenaikan
kadar air tanah akan memperlemah sifat fisik-mekanik tanah (mempengaruhi
kondisi internal tubuh lereng) dan menurunkan Faktor Kemanan lereng
(Brunsden & Prior, 1984; Bowles, 1989; Hirnawan & Zufialdi, 1993).
Kondisi lingkungan geologi fisik sangat berperan dalam kejadian
gerakan tanah selain kurangnya kepedulian masyarakat karena kurang informasi
ataupun karena semakin merebaknya pengembangan wilayah yang mengambil
tempat di daerah yang mempunyai masalah lereng rawan longsor.

3.3. Ketidakseimbangan Beban di Puncak dan di Kaki Lereng
Beban tambahan di tubuh lereng bagian atas (puncak) mengikutsertakan
peranan aktifitas manusia. Pendirian atau peletakan bangunan, terutama
memandang aspek estetika belaka, misalnya dengan membuat perumahan (real
estate) atau villa di tepi-tepi lereng atau di puncak-puncak bukit merupakan
tindakan ceroboh yang dapat mengakibatkan longsor. Kondisi tersebut
menyebabkan berubahnya keseimbangan tekanan dalam tubuh lereng.
Sejalan dengan kenaikan beban di puncak lereng, maka keamanan lereng
akan menurun.
Pengurangan beban di daerah kaki lereng berdampak menurunkan
Faktor Keamanan. Makin besar pengurangan beban di kaki lereng, makin besar
pula penurunan Faktor Keamanan lerengnya, sehingga lereng makin labil atau
makin rawan longsor. Aktivitas manusia berperan dalam kondisi seperti ini.
Pengurangan beban di kaki lereng diantaranya oleh aktivitas penambangan
bahan galian, pemangkasan (cut) kaki lereng untuk perumahan, jalan dan lainlain,
atau erosi (Hirnawan, 1993).
Kasus longsor yang disebabkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban
pada lereng antara lain:
1) longsor di tempat penggalian trass di tepi jalan raya Lembang akibat
penggalian bahan baku bangunan dengan cara membuat tebing yang hampir
tegak lurus;
2) longsor sekitar jalan di Bandung Utara akibat pemangkasan untuk kawasan
perumahan (real estate);
3) longsoran di tepi sungai Cipeles (Jalan raya Bandung-Cirebon) juga
diakibatkan oleh kondisi ketidakseimbangan beban.

3.4. Vegetasi / Tumbuh-tumbuhan
Hilangnya tumbuhan penutup, dapat menyebabkan alur-alur pada
beberapa daerah tertentu. Penghanyutan makin meningkat dan akhirnya terjadilah
longsor (Pangular, 1985). Dalam kondisi tersebut berperan pula faktor erosi.
Letak atau posisi penutup tanaman keras dan kerapatannya mempengaruhi
Faktor Keamanan Lereng. Penanaman vegetasi tanaman keras di kaki lereng
akan memperkuat kestabilan lereng, sebaliknya penanaman tanaman keras di
puncak lereng justru akan menurunkan Faktor Keamanan Lereng sehingga
memperlemah kestabilan lereng (Hirnawan, 1993).
Penyebab lain dari kejadian longsor adalah gangguan internal yang
datang dari dalam tubuh lereng sendiri terutama karenaikutsertanya peranan air
dalam tubuh lereng;

3.5. Naiknya Muka Airtanah
Kehadiran air tanah dalam tubuh lereng biasanya menjadi masalah bagi
kestabilan lereng. Kondisi ini tak lepas dari pengaruh luar, yaitu iklim (diwakili
oleh curah hujan) yang dapat meningkatkan kadar air tanah, derajat kejenuhan,
atau muka airtanah. Kehadiraran air tanah akan menurunkan sifat fisik dan
mekanik tanah. Kenaikan muka air tanah meningkatkan tekanan pori (m) yang
berarti memperkecil ketahanan geser dari massa lereng, terutama pada material
tanah (soil). Kenaikan muka air tanah juga memperbesar debit air tanah dan
meningkatkan erosi di bawah permukaan (piping atau subaqueous erosion).
Akibatnya lebih banyak fraksi halus (lanau) dari masa tanah yang dihanyutkan,
ketahanan massa tanah akan menurun (Bell, 1984, dalam Hirnawan, 1993).

4. Faktor Keamanan Lereng
Banyak rumus perhitungan Faktor Keamanan lereng (material tanah)
yang diperkenalkan untuk mengetahui tingkat kestabilan lereng ini. Rumus dasar
Faktor Keamanan (Safety Factor, F) lereng (material tanah) yang diperkenalkan
oleh Fellenius dan kemudian dikembangkan adalah : (Lambe & Whitman, 1969;
Parcher & Means, 1974) :
Gambar 3. Sketsa lereng dan gaya yang bekerja


Gambar 4. Sketsa gaya yang bekerja ( t dan S ) pada satu sayatan
Catatan :
Gambar 3 dan 4 dibahas lebih jauh pada bab 7 (halaman 26 dst.)

5. Berbagai Cara Analisis Kestabilan Lereng
Cara analisis kestabilan lereng banyak dikenal, tetapi secara garis besar
dapat dibagi menjadi tiga kelompok yaitu: cara pengamatan visual, cara
komputasi dan cara grafik (Pangular, 1985) sebagai berikut :
1) Cara pengamatan visual adalah cara dengan mengamati langsung di
lapangan dengan membandingkan kondisi lereng yang bergerak atau
diperkirakan bergerak dan yang yang tidak, cara ini memperkirakan lereng
labil maupun stabil dengan memanfaatkan pengalaman di lapangan
(Pangular, 1985). Cara ini kurang teliti, tergantung dari pengalaman
seseorang. Cara ini dipakai bila tidak ada resiko longsor terjadi saat
pengamatan. Cara ini mirip dengan memetakan indikasi gerakan tanah
dalam suatu peta lereng.
2) Cara komputasi adalah dengan melakukan hitungan berdasarkan rumus
(Fellenius, Bishop, Janbu, Sarma, Bishop modified dan lain-lain). Cara
Fellenius dan Bishop menghitung Faktor Keamanan lereng dan dianalisis
kekuatannya. Menurut Bowles (1989), pada dasarnya kunci utama gerakan
tanah adalah kuat geser tanah yang dapat terjadi :
(a) tak terdrainase,
(b) efektif untuk beberapa kasus pembebanan,
(c) meningkat sejalan peningkatan konsolidasi (sejalan dengan waktu) atau
dengan kedalaman,
(d) berkurang dengan meningkatnya kejenuhan air (sejalan dengan waktu)
atau terbentuknya tekanan pori yang berlebih atau terjadi peningkatan air
tanah.
Dalam menghitung besar faktor keamanan lereng dalam analisis lereng tanah
melalui metoda sayatan, hanya longsoran yang mempunyai bidang gelincir
saya yang dapat dihitung.
3) Cara grafik adalah dengan menggunakan grafik yang sudah standar (Taylor,
Hoek & Bray, Janbu, Cousins dan Morganstren). Cara ini dilakukan untuk
material homogen dengan struktur sederhana. Material yang heterogen
(terdiri atas berbagai lapisan) dapat didekati dengan penggunaan rumus
(cara komputasi).
Stereonet, misalnya diagram jaring Schmidt (Schmidt Net Diagram) dapat
menjelaskan arah longsoran atau runtuhan batuan dengan cara mengukur
strike/dip kekar-kekar (joints) dan strike/dip lapisan batuan.
Berdasarkan penelitian-penelitian yang dilakukan dan studi-studi yang
menyeluruh tentang keruntuhan lereng, maka dibagi 3 kelompok rentang Faktor
Keamanan (F) ditinjau dari intensitas kelongsorannya (Bowles, 1989), sperti yang
diperlihatkan pada Tabel 6.

Tabel 6. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor

6. Upaya Pengelolaan Lingkungan
Pengelolan lingkungan dimaksudkan untuk mengurangi, mencegah dan
menanggulangi dampak negatif serta meningkatkan dampak positif. Kajiannya
didasari pula oleh studi kelayakan teknik atau studi geologi yang mencakup
geologi teknik, mekanika tanah dan hidrogeologi. Dengan demikian pendekatan
dalam menangani lereng rawan longsor selain didasari oleh hasil rekomendasi
studi kelayakan teknik atau studi geologi, juga didasari pula oleh pengelolaan
lingkungannya. Diharapkan mengenai lereng rawan longsor dapat dikenal lebih
jauh lagi sehingga dapat mengantisipasi kekuatan dan keruntuhan suatu lereng.
Hubungan antara faktor-faktor yang mempengaruhi penurunan kondisi
fisik dan mekanik perlu diketahui pula. Pengaruh kenaikan kadar air, peletakan
beban, penanaman vegetasi dan kondisi kegempaan/getaran terhadap tubuh
lereng, merupakan kajian yang paling baik untuk mengenal kondisi suatu lereng.
Secara umum pencegahan/penanggulangan lereng longsor adalah mencoba
mengendalikan faktor-faktor penyebab maupun pemicunya. Kendati demikian,
tidak semua faktor-faktor tersebut dapat dikendalikan kecuali dikurangi.
Beberapa cara pencegahan atau upaya stabilitas lereng adalah sebagai berikut :
(1) Mengurangi beban di puncak lereng dengan cara : Pemangkasan lereng;
Pemotongan lereng atau cut; biasanya digabungkan dengan pengisian/pengurugan
atau fill di kaki lereng; Pembuatan undak-undak. dan sebagainya
(2) Menambah beban di kaki lereng dengan cara :
· Menanam tanaman keras (biasanya pertumbuhannya cukup lama).
· Membuat dinding penahan (bisa dilakukan relatif cepat; dinding penahan
atau retaining wall harus didesain terlebih dahulu)
· Membuat ‘bronjong’, batu-batu bentuk menyudut diikatkan dengan kawat;
bentuk angular atau menyudut lebih kuat dan tahan lama dibandingkan
dengan bentuk bulat, dan sebagainya
(3) Mencegah lereng jenuh dengan airtanah atau mengurangi kenaikan kadar air
tanah di dalam tubuh lereng Kadar airtanah dan mua air tanah biasanya
muncul pada musim hujan, pencegahan dengan cara :
· Membuat beberapa penyalir air (dari bambu atau pipa paralon) di
kemiringan lereng dekat ke kaki lereng. Gunanya adalah supaya muka air
tanah yang naik di dalam tubuh lereng akan mengalir ke luar, sehingga
muka air tanah turun
· Menanam vegetasi dengan daun lebar di puncak-puncak lereng sehingga
evapotranspirasi meningkat. Air hujan yang jatuh akan masuk ke tubuh
lereng (infiltrasi). Infiltrasi dikendalikan dengan cara tersebut.
· Peliputan rerumputan. Cara yang sama untuk mengurangi pemasukan
atau infiltrasi air hujan ke tubuh lereng, selain itu peliputan rerumputan
jika disertai dengan desain drainase juga akan mengendalikan run-off.
(4) Mengendalikan air permukaan dengan cara:
· Membuat desain drainase yang memadai sehingga air permukaan dari
puncak-puncak lereng dapat mengalir lancar dan infiltrasi berkurang.
· Penanaman vegetasi dan peliputan rerumputan juga mengurangi air
larian (run-off) sehingga erosi permukaan dapat dikurangi.

Gambar 5. Beberapa upaya peningkatan stabilitas lereng


7. Cara Sederhana Perhitungan Faktor Keamanan Lereng
Faktor Keamanan (F) lereng tanah dapat dihitung dengan berbagai
metode. Longsoran dengan bidang gelincir (slip surface), F dapat dihitung
dengan metoda sayatan (slice method) menurut Fellenius atau Bishop. Untuk
suatu lereng dengan penampang yang sama, cara Fellenius dapat dibandingkan
nilai faktor keamanannya dengan cara Bishop. Dalam mengantisipasi lereng
longsor, sebaiknya nilai F yang diambil adalah nilai F yang terkecil, dengan
demikian antisipasi akan diupayakan maksimal. Data yang diperlukan dalam
suatu perhitungan sederhana untuk mencari nilai F (faktor keamanan lereng)
adalah sebagai berikut :
a. Data lereng (terutama diperlukan untuk membuat penampang lereng)
meliputi: sudut lereng, tinggi lereng, atau panjang lereng dari kaki lereng ke
puncak lereng.
b. Data mekanika tanah
· sudut geser dalam (f; derajat)
· bobot satuan isi tanah basah (gwet; g/cm3 atau kN/m3 atau ton/m3)
· kohesi (c; kg/cm2 atau kN/m2 atau ton/m2)
· kadar air tanah (w; %)
Data mekanika tanah yang diambil sebaiknya dari sampel tanah tak
terganggu. Kadar air tanah ( w ) diperlukan terutama dalam perhitungan yang
menggunakan komputer (terutama bila memerlukan data gdry atau bobot satuan
isi tanah kering, yaitu : gdry = g wet / ( 1 + w ). Pada lereng yang dipengaruhi oleh
muka air tanah nilai F (dengan metoda sayatan, Fellenius) adalah sbb.:


c = kohesi (kN/m2)
f = sudut geser dalam (derajat)
a = sudut bidang gelincir pada tiap sayatan (derajat)
m = tekanan air pori (kN/m2)
l = panjang bidang gelincir pada tiap sayatan (m);
L = jumlah panjang bidang gelincir
mi x li = tekanan pori di setiap sayatan (kN/m)
W = luas tiap bidang sayatan (M2) X bobot satuan isi tanah (g, kN/m3)

Pada lereng yang tidak dipengaruhi oleh muka air tanah, nilai F adalah sbb.:

Berikut ini adalah contoh perhitungan faktor keamanan cara Fellenius
pada lereng tanpa pengaruh muka air tanah, namun sebelumnya ada beberapa
langkah yang perlu diikut:
· Langkah pertama adalah membuat sketsa lereng berdasarkan data
penampang lereng,
· Dibuat sayatan-sayatan vertikal sampai batas bidang gelincir.
· Langkah berikutnya adalah membuat tabel untuk mempermudah
perhitungan.

Contoh perhitungan:
Diketahui f (sudut geser dalam) = 27,46o
Kohesi (c) = 18,722 kN/m2
Bobot satuan isi tanah (g.wet) = 16,067 kN/m3
Muka airtanah sangat dalam.
Penampang lereng seperti pada gambar.
(catatan: satuan harus diperhatikan)
SKALA 1:1.000
Gambar 6. Penampang lereng dengan irisannya serta bidang gelincir yang dipakai
untuk perhitungan faktor Keamanan cara manual maupun cara
komputer. A-B adalah bidang gelincir

Tabel 7. Perhitungan Faktor Keamanan cara sayatan (Fellenius)


Dari hasil hitungan didapat nilai F = 1,565399 maka makna dari nilai F
sebesar itu dapat dibandingkan dengan Tabel 6. Artinya adalah lereng relatif
stabil, pada kondisi F sebesar itu pada umumnya lereng jarang longsor.

8. Cara perhitungan dengan SOILCOM2.BAS
SOILCOM2.BAS adalah salah satu program komputer dalam bahasa
BASIC untuk mempermudah perhitungan Faktor Keamanan dengan metoda
sayatan (slice-method). Sebagai contoh perhitungan Faktor Keamanan lereng
pada gambar yang sama seperti Gambar 6. Data mekanika tanah dan
penampang yang digunakan adalah sama dengan hitungan yang pertama. Cara
ini digunakan sebagai pembanding dengan memanfaatkan sarana komputer .
Posisi tiap sayatan pada Gambar 6 harus dinyatakan dalam koordinat (lihat
Gambar 7 dan Tabel 8).
SKALA 1:1.000
Gambar 7. Penampang lereng dengan irisannya serta bidang gelincirnya
yang dipakai untuk perhitungan dengan komputer. Posisi
sayatanan dinyatakan dalam koordinat XY.
(A-B adalah bidang gelincir)

Tabel 8. Posisi koodinat lereng

* ) A = koordinat paling kanan dari lereng yang berpotongan dengan bidang gelincir (slip surface)
B = koordinat paling kiri dari lereng yang berpotongan dengan bidang gelincir (slip surface)

Dengan menggunakan SOILCOM2.BAS, didapat perhitungan sbb:

Nilai Faktor Keamanan (F) > 1,25 pada suatu lereng menurut Bowles
(1989) ditafsirkan sebagai lereng dengan longsor jarang terjadi atau disebut
sebagai relatif stabil. Untuk menyebutkan lereng stabil perlu dibuat nilai batas
yang aman selain F=1,25, karena nilai tersebut menandakan bahwa kejadian
longsor pernah terjadi (walaupun jarang). Untuk itu diusulkan nilai F > 2 sebagai
nilai yang aman bagi lereng (lereng stabil). Sebagai pebandingan, nilai F = 2 atau
F = 3 biasanya dipakai untuk nilai aman (faktor keamanan) bagi dayadukung
tanah untuk berbagai pondasi dangkal.
Dalam setiap perhitungan (cara manual maupun cara komputer), semua
satuan tiap-tiap variabel harus diperhatikan, seperti misalnya c (kohesi), f(sudut
geser-dalam), dan g (bobot sartuan isi tanah basah dan bobot satuan isi tanah
kering). Satuan disesuaikan melalui konversi dalam standar SI (Satuan
Internasional).

Tabel 9. Contoh penyesuaian satuan (konversi)
9. Latihan
A-A' = bidang gelincir
Skala 1:1.000
Gambar 8. Sketsa lereng di lapangan
SOAL (1) :
Gambar di atas adalah penampang lereng tanah. A-A' adalah bidang gelincir.
Bobot satuan isi tanah (g.wet, unit weight) diketahui = 16 kN/m3
Kohesi (c, cohession) diketahui = 9 kN/m2
Sudut geser dalam (f, angle of internal friction) = 10o
Ditanyakan :
35
ZufialdiZakaria/GEOTEKNIK-D1F322 Analisis Kestabilan Lereng Tanah
Berapa dan bagaimana F (Faktor Keamanan) lereng tersebut untuk kondisi
seperti gambar di atas apabila muka air tanah sangat dalam (tidak dipengaruhi
air tanah). Gunakan metoda sayatan seperti di atas dengan cara Fellenius.
CARA :
1. Buat tabel untuk perhitungan per-sayatan
2. Ukur panjang x, h dan ��
3. Ukur besar sudut bidang gelincir a tiap-tiap sayatan.
4. Hitung luas tiap-tiap sayatan
5. Hitung W tiap-tiap sayatan. W = luas masing-masing sayatan X bobot satuan
isi tanah
6. Hitung cos a kalikan dengan W pada masing-masing sayatan, sehingga
didapatkan Wcos a
7. Hitung sin a kalikan dengan W pada masing-masing sayatan, sehingga
didapatkan Wsin a.
8. Jumlahkan �� . Hasil penjumlahan = L.
9. Langkah selanjutnya::
a. Hitung c X L
b. Jumlahkan (W cos a ) pada semua sayatan
c. Jumlahkan (W sin a ) pada semua sayatan
d. Hitung tan f
10. Masukkan nilai-nilai tadi ke dalam rumus Fellenius.
11. Bandingkan hasil hitungan dengan hasil Bowles (1984) Tabel 6

Untuk lebih mempermudah perhitungan, jangan lupa gunakan tabel
untuk mempermudah perhitungan dan pemeriksaan ulang. Contoh tabel untuk
perhitungan dapat dilihat pada halaman berikutnya.
SOAL (2) :
Konversi dari suatu satuan ke satuan lainnya sangat diperlukan dalam
perhitungan faktor keamanan. Carilah berapa nilai masing-masing seusi dengan
nilai dengan satuan yang telah dicantumkan (diketahui).
1. 4 kg/cm2 ....... kg/m2 ....... kN/m2
2. 7 kg/m2 ....... kg/cm2 ....... kN/m2
3. 1.60 ton/m3 ....... g/cm3 ....... kN/m3
4. .... ton/m2 ....... kg/cm2 18.72 kN/m2
5. .... ton/m3 ....... g/cm3 16.67 kN/m3
6. 1.76 g/cm3 ...... ton/m3 ....... kN/m3
7. .... ton/m2 20 kg/cm2 ....... kN/m2

DAFTAR PUSTAKA
Anwar, H.Z., dan Kesumadhama, S., 1991, Konstruksi Jalan di daerah Pegunungan
tropis, Makalah Ikatan Ahli Geologi Indonesia, PIT ke-20, Desember
1991, hal. 471- 481
Attewel, P.B.,& Farmer, I. W., 1976, Principles of engineering geology, Chapman
& Hall, London, 104p.
Bowles, JE.,1989, Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah, Erlangga, Jakarta, 562 hal.
Brunsden,D., Schortt,L., & Ibsen,M.L.(editor), 1997, Landslide Recognition, Identification
Movement and Causes, John Wiley & Sons, England, p. 137 - 148
Dikau, R. (editor) et.al., 1997, Landslide Recognition, John Willey & Sons, 251 p.
Fandeli,C.,1992, Analisis mengenai dampak lingkungan, prinsip dasar dan pemampanannya
dalam pembangunan, Liberty, Yogyakarta, 346 hal,
Hansen, M.J., 1984, Strategies for Classification of Landslides, (ed. : Brunsden, D,
& Prior, D.B., 1984, Slope Instability, John Wiley & Sons, p.1-25
Hirnawan, R.F., 1993, Ketanggapan Stabilitas Lereng Perbukitan Rawan Gerakantanah
atas Tanaman Keras, Hujan & Gempa, Disertasi, UNPAD, 302pp. .
Hirnawan, R. F., 1994, Peran faktor-faktor penentu zona berpotensi longsor di dalam
mandala geologi dan lingkungan fisiknya Jawa Barat, Majalah Ilmiah
Universitas Padjadjaran, No. 2, Vol. 12, hal. 32-42.
Hunt, R.E., 1984, Geotechnical engineering investigation manual, McGrawHill Book
Co., 984 p.
Lambe, T.W., & Withman, R.V., 1969, Soil Mechanics, John Willey & Sons Inc., New
York,553 p.
Parker, J.V., Means, R.E., 1974, Soil Mechanics and Foundations, Prentice Hall of
India, Ltd., New Delhi, 573p.
Pangular, D., 1985, Petunjuk Penyelidikan & Penanggulangan Gerakan Tanah, Pusat
Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Balitbang Departemen
Pekerjaan Umum, 233 hal.
Pikiran Rakyat, 18 Maret 1997, Harian Umum No, 347 / Tahun XXXI / 1997,
Gempa Guncang Jakarta dan JABAR.
Pikiran Rakyat, 15 April 1999, Harian Umum No. 21, Tahun XXXIV / 1999,
Bandung Rawan Bencana Gempa, hal 2 kolom 3-6.
Republika, 18 Maret 1997, Harian Umum No. 72/Th. 5/1997, Guncangan Gempa 6.0
Skala Richter, Warga Jakatra Panik,
Soemarwoto, O., 1990, Analisis Dampak Lingkungan, Gajah Mada University
Press, Yogyakarta, 378 hal.
Strahler, A.N., & Strahler, A.H., 1983, Modern physical geography, John Willey &
Sons, 532 p.
Verruijt, 1982, Stabil2.3, Computer Program, Delft University.
Zakaria, Z., 2000, Peran Identifikasi Longsoran dalam Studi Pendahuluan Per39
ZufialdiZakaria/GEOTEKNIK-D1F322 Analisis Kestabilan Lereng Tanah
modelan Sistem STARLET Untuk Mitigasi Bencana Longsor, YEAR
BOOK MITIGASI BENCANA 1999, Januari 2000, Direktorat Teknologi
Pengelolaan Sumerdaya Lahan dan Kawasan, Bidang Teknologi
Pengembangan Sumberdaya Alam, BPPT, hal. I.105 - I.123
Zaruba, Q., & Mecl, V., 1976, Engineering geology, Elsevier Publisher, Co.,
Amsterdam, 504 p.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar